Koha…
Penulis mau nulis lagi nih, hari ini mau cerita tentang malam ku yang menyesakkan, tapi maaf yah untuk pembaca kalau dalam penulisan saya ini kata-kata nya tidak sesuai dengan EYD.
Pada umumnya rumah-rumah yang ada disini masih menggunakan Honai akan tetapi honai nya sudah lebih modern, bentukan dalamnya masih hampir mirip dengan honai-hoani yang lain, dimana luas honai ini biasanya sekitar 5 Meter, tapi ukuran tersebut tidak semerta-merta sama semua, ada juga yang honai nya lebih luas dan adapula yang lebih kecil, rumah tersebut disengaja dibuat dalam ukuran kecil supaya udara yang ada di dalam rumah itu akan hangat, begitu kata bapak yofi yang sempat saya wawancarai, dimana atap rumahnya sudah menggunakan seng, dindingnya yang menggunakan kayu dan disusun sedimikian rupa sampai tidak ada cela menggunakan kulit kayu sebagai pengikat kayu-kayu nya. Juga sudah ada sebagian masyarakat yang menggunakan papan sebagai dinding, pintu honai ini juga berukuran lebih kecil. Di bagian dalamnya, di sisi tengah terdapat tungku, tempat mamah memasak dan membakar kayu bakar, sisi kanan dan kiri merupakan tempat keluarga untuk menyantap makanan juga sebagai tempat tidur, di bagain dalam nya juga terdapat kayu bakar yang besar-besar disimpan dibagian atas. Sebagian masyarakat sudah memiliki rumah sehat sehingga rumah kecil tersebut biasanya hanya dijadikan sebagai dapur, akan tetapi masyarakat yang hanya memiliki honai ini, makan dan tidur nya juga disitu.
Pertama kali penulis live in di kampung, siang harinya penulis habiskan di honai tersebut dengan bercanda ria dengan anak-anak, sembari itu anak-anak menyalakan api dan membakar ubi jalar. Tak lama setelah itu saya mulai merasakan mata yang mulai perih, dan memilih untuk keluar dari honai, sekedar menghirup udara segar, begitu berulang kali, saya kerap keluar dari honai hanya untuk menghirup udara segar.
Malam harinya kami pun memasak nasi dan beberapa lauk, rupanya di malam ini saya sudah mulai terbiasa walaupun mata tetap perih karena asap tetapi tidak separah sebelumnya, setelah menikmati makanan yang sudah dimasak, saya bercengkrama dengan mama yuliana (selaku induk semang ) dengan sedikit cahaya dari api, memperkenalkan saya dengan anak-anaknya yang sedang sekolah di Nabire melalui telepon, menceritakan tentang dirinya, kemudian mengajak saya menonton film genta buana di HP mama, yang notaben nya film tersebut sudah sangat lama tayangnya, tetapi film-film tersebut baru eksis dikalangan masyarakat disini. Entahlah saya juga bingung dari mana mamah mendapatkan film-film tersebut.
Setelah lama menonton saya pun mulai mengantuk dan meminta izin untuk tidur duluan, menarik selimut dari kaki sampai kepala tertutup semua, mulai memejamkan mata tapi tetap sadar. Hingga saya sadar bahwa selimut ini tidak cukup untuk mengahangatkan saya, seketika itu pun mama yuliana menyadari hal tersebut, sehingga dia langsung mengambil 2 potong kayu bakar besar untuk dibakarnya sebagai penghangat di dalam ruangan ini, saya pun diminta untuk meluruskan kaki sampai dekat dengan api yang sudah menyala, seketika itu juga saya bisa tertidur lelap karna sudah mulai merasakan hangat, tetapi setelah beberapa jam saya tidur, api tersebut mulai padam dan menimbulkan asap yang banyak membuat saya terbangun dan mengalami sesak, saya pun mengintip dari celah selimut terlihat asap mulai memenuhi ruangan ini, pintu yang sudah tertutup membuat tidak adanya ventilasi sama sekali, melihat mereka yang tidak terbangun ataupun terganggu dengan adanya asap ini membuat saya mengerti bahwa mereka sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Saya pun kembali menarik selimut hingga menutupi kepala saya berharap asap-asap ini tidak masuk ke dalam paru-paru saya, malam ini pun saya merasakan malam yang sangat panjang, malam yang menyesakkan, matahari yang entah kapan terbitnya, entahlah kondisi ini adalah kondisi yang saya harus terima ……
Segitu dulu yahhh…. Terimah kasih