Menjala Hidup di Laut Aru: Kehidupan Nelayan Desa Kobaseltimur

Penulis: Ririn Risqiana Rossi, 26 October 2025
image
potret kapal penampung sedang membongkar ikan ke container

Ketika matahari baru saja menyingkap cakrawala Aru, suara mesin kedo-kedo mulai bergemuruh dari tepi pantai Desa Kobaseltimur. Di sinilah denyut kehidupan para nelayan dimulai, sebuah rutinitas yang tak sekadar mencari ikan, melainkan menjemput kehidupan di tengah samudra. Laut bagi mereka bukan hanya ruang kerja, tetapi juga rumah, sahabat, sekaligus guru yang mengajarkan keteguhan. Setiap riak ombak menyimpan kisah perjuangan, setiap jaring yang ditebar membawa harapan untuk keluarga di rumah.


Di desa kecil yang terletak di Kecamatan Aru Tengah ini, melaut telah menjadi napas kehidupan turun-temurun. Desa Kobaseltimur di Kecamatan Aru Tengah, Kepulauan Aru, adalah potret kehidupan pesisir yang begitu erat dengan laut. Di desa kecil yang dikelilingi hamparan biru Samudra Arafura ini, laut bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari jiwa masyarakatnya. Di sanalah mereka bertumbuh, hidup dalam tradisi, adat, dan ketekunan yang diwariskan turun-temurun.


Setiap kali hendak melaut, para nelayan Kobaseltimur melakukan persiapan yang matang. Mereka tahu betul, laut tidak bisa disepelekan, ia bisa menjadi sahabat yang murah hati, namun juga menuntut kesiapan penuh. Sebelum berangkat, mereka menyiapkan bahan pangan untuk bekal di laut: beras, air minum, minyak goreng, gula, kopi, biskuit, hingga pompom (sagu kering khas Aru) yang menjadi sumber tenaga utama di tengah gelombang. Semua disiapkan dengan cermat agar kebutuhan makan selama berhari-hari di laut tetap terpenuhi.


Kesehatan dan kebersihan pun tak luput dari perhatian. Air bersih, obat-obatan, pakaian ganti, hingga jas hujan menjadi perlengkapan wajib. Para nelayan juga membawa jaket/ sweater, topi, dan terkadang masker atau buff untuk melindungi diri dari terik matahari dan hembusan angin laut yang kencang.


Perlengkapan utama mereka adalah kendaraan berupa kedo-kedo atau speed, perahu bermesin kecil yang menjadi sahabat setia di tengah laut luas. Di dalamnya tersusun rapi jerigen bahan bakar, senter, baterai, dan alat tangkap seperti jaring serta rawi (tali panjang menyerupai pancing yang digunakan untuk menangkap ikan). Setiap nelayan juga membawa pula kotak kecil/ tools berisi perkakas perbaikan mesin; sebab di tengah laut, kemandirian adalah kunci bertahan hidup. Tak lupa, kompor minyak tanah dan rokok - kebutuhan sederhana yang menjadi teman di waktu jeda saat menunggu ikan berkumpul di jaring.


Durasi melaut nelayan Kobaseltimur berkisar antara tiga hingga sepuluh hari, tergantung pada hasil tangkapan. Sistem kerja mereka kolektif, berangkat menuju wilayah tangkapan, menjaring ikan, lalu hasilnya dikumpulkan ke motor penampung untuk ditimbang. Jenis dan berat ikan menentukan nilai jualnya. Setelah kembali ke kampung, barulah pembayaran diberikan. Penghasilan mereka biasanya berkisar antara Rp1.500.000 hingga Rp4.000.000 per sekali melaut, namun masih dipotong biaya kebutuhan dan bahan persiapan yang disebut “ongkos” tadi, sekitar Rp600.000–Rp700.000 per orang.


Sistem penampungan ini muncul dari kondisi geografis desa yang terpencil dan jauh dari pusat kecamatan ataupun kabupaten. Dengan transportasi laut yang terbatas dan ketiadaan produksi es di desa, nelayan tak dapat langsung menjual ikan mereka ke pasar kabupaten. Maka, penimbangan dan pengumpulan hasil melalui motor penampung menjadi solusi yang dilakukan oleh para nelayan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sampai saat ini.


Ketika tak melaut, kehidupan nelayan tetap berjalan dinamis. Mereka menambal jaring yang robek, membuat jaring baru, mencuci perahu, atau memperbaiki mesin. Beberapa pergi ke seberang pulau untuk berkebun, menanam, atau mengambil kayu bakar. Sementara itu, anak-anak nelayan muda mengisi sore dengan bermain bola di lapangan kecil di depan rumah warga, diselingi tawa dan teriakan gembira. Saat malam tiba, mereka berkumpul di beranda atau di sudut-sudut tongkrongan desa, bercengkerama, menyanyi, dan menyeruput kopi hangat sambil memetik gitar di bawah cahaya bulan bintang.


Kehidupan nelayan di Desa Kobaseltimur adalah kisah tentang kerja keras dan kebersamaan. Tentang manusia yang hidup berdampingan dengan laut, menyerap keteguhannya, menghadapi badai dengan sabar, dan memetik rezeki dengan rasa syukur. Di tepian Aru yang jauh dari hiruk pikuk kota, para nelayan Kobaseltimur terus berlayar, menjemput hidup dengan cara mereka sendiri, sederhana namun bermakna. Di bawah langit biru dan debur ombak yang tak pernah berhenti, mereka menulis kisahnya sendiri: kisah manusia yang tak pernah lelah menjala hidup dari laut yang mereka cintai.