Tradisi Membawa Damai: Sepakbola Dari Tradisi Perkawinan Tiga Tungku Lewotala

Penulis: Marchellino Miquel Pesireron, 15 October 2025
image
Suasana meriah turnamen sepakbola antar suku Desa Bantala antara Suku Liwun melawan Suku Hurit denga

Di seluruh dunia, sepakbola adalah cabang olahraga primadona. Olahraga ini bukan hanya sekedar ajang kompetisi antara dua tim yang saling berusaha memasukan bola ke gawang lawan, tapi sebagai simbol jati diri yang mewakili suatu komunitas atau kelompok besar. Tidak heran kalau akhirnya sebuah pertandingan sepakbola berakhir ricuh. Mengawinkan tradisi dengan pertandingan sepakbola, sebuah desa kecil di ujung Timur Pulau Flores membuktikan bahwa tradisi yang berusia ratusan tahun bisa mengawal pertandingan bola dengan aman.

 

Perkawinan Tiga Tungku

Desa Bantala yang terletak di ujung timur Pulau Flores memiliki budaya pernikahan yang cukup unik. Desa Bantala, yang memiliki nama lokal Lewotala yang berasal dari kata Lewo (desa) dan Tala (akhiran dari Bukit Bantala), mengatur pengambilan pasangan berdasarkan aturan suku. Desa Lewotala dihuni oleh 14 suku yaitu Suku Hurit, Suku Tukan, Suku Sogen, Suku Hokor, Suku Kelen, Suku Hewen, Suku Hekin, Suku Aran, Suku Koten, Suku Liwun, Suku Wekin, Suku Piran, Suku Ruron, dan Suku Ritan. Aturan perkawinan dilakukan sedemikian rupa; laki-laki dari suku apa yang bisa mengambil perempuan dari suku mana untuk dijadikan istri. Tradisi yang dikenal dengan nama Perkawinan Tiga Tungku melibatkan tiga suku tertentu sesuai dengan aturan yang sudah ada secara turun temurun. Keluarga suku laki-laki yang mengambil perempuan suku lain dipanggil dengan sebutan Blake, sebaliknya suku dari pihak keluarga perempuan dipanggil dengan sebutan Opu oleh pihak keluarga suku laki-laki. Ini menjadi ikatan tiga suku secara adat perkawinan yang saling mengikat satu sama lain. Tujuannya agar bisa menghormati dan menghargai secara sosial, dan mempererat ikatan meskipun tidak ada ikatan darah. Sebagai contoh Perkawinan Tiga Tungku antara Suku Liwun, Suku Tukan, dan Suku Hurit, aturan adat perkawinannya Suku Liwun laki-laki boleh mengambil perempuan dari Suku Tukan, Suku Tukan laki-laki boleh mengambil perempuan dari Suku Hurit, dan Suku Hurit laki-laki boleh mengambil perempuan dari Suku Liwun.

Diagram aturan adat Perkawinan Tiga Tungku dari contoh tiga suku yang ada di desa Bantala


Tradisi membawa damai

Seperti di belahan dunia lainnya, di Desa Bantala, momen pertandingan sepabola merupakan momen penting yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Ada dua momen besar sepakbola, yaitu menjelang HUT Kemerdekaan di bulan Agustus, dan Sumpah Pemuda di bulan Oktober. Biasanya, kedua turnamen tersebut melibatkan perwakilan setiap dusun yang ada di desa Bantala yang sangat antusias untuk mengikuti pertandingan tersebut. Penduduk dari masing-masing dusun berdatangan memberikan dukungan yang sangat meriah, bahkan masyarakat desa rela untuk menunda atau bahkan meninggalkan pekerjaan sehari-harinya. Pekerjaan berkebun yang dilakukan dari pagi sampai sore mereka diupayakan untuk bisa selesai pada siang hari. Yang biasanya beternak memberi pakan ternaknya tiga kali dalam sehari, namun karena adanya pertandingan, mereka hanya memberi pakan dua kali saja agar dapat datang menonton serta mendukung tim kesebelasan masing- masing dusun. Sayangnya, momen penting ini sering mengundang kericuhan dan baku pukul antar pendukung tim yang mengalami kekalahan karena merasa dicurangi ataupun menganggap pertandingan tidak adil.

Akibat kericuhan yang selalu terjadi,  turnamen sepakbola Desa Bantala pada bulan Agustus lalu nyaris dibatalkan dan hal ini tentu saja mengundang kekecewaan warga Desa Bantala. Untungnya, panitia yang berasal dari jajaran pemerintahan desa mencoba konsep baru yaitu turnamen dilakukan memakai sistem pertandingan antar suku!

Turnamen sepakbola antar suku di bulan Agustus kali ini berakhir dengan damai dan sangat meriah (walaupun tanpa ada bonus). Tim gabungan suku Sogen dan Hokor keluar sebagai juara satu, diikuti suku Hurit sebagai juara dua, dan suku Liwun juara tiga. Turnamen kali ini memakai sistem setengah kompetisi dimana tim dengan perolehan poin paling tinggi dari keselurahan pertandingan yang dijalani keluar sebagai pemenangnya.

Cerita indah dari turnamen ini adalah bagaimana setiap tim berisi pemain-pemain perwakilan suku berhasil menjaga rangkaian kegiatan dengan damai. Meskipun dalam pertandingan di beberapa momen sering terjadi adu ketangkasan fisik, namun pemain dan pendukung satu sama lain menjaga kemanan, tidak terjadi kericuhan karena setiap suku memiliki ikatan Blake dan Opu sehingga antara pemain dan pendukung saling menghormati dan menghargai satu sama lain.

Rangkaian turnamen diakhiri dengan sebuah perayaan, yaitu pesta syukuran di masing-masing Rumah Besar Suku (tempat berkumpulnya setiap anggota suku) dengan mengundang tim suku yang lain. Suasana harmonis masyarakat Desa Bantala sangat terasa, kericuhan yang biasanya menandai akhir turnamen sepakbola, kini diganti dengan kebahagiaan yang dilandasi oleh rasa persaudaraan karena ikatan adat yang mengikat.