Membaca Langit, Menyemai Bumi: Menentukan Waktu Tanam Cara Masyarakat Blepanawa

Penulis: Arla Adella, 17 October 2025
image
desa blepanawa

Tradisi masyarakat Blepanawa menunjukkan bahwa pengetahuan lokal berbasis

kearifan lokal mampu menjadi pedoman dalam mengelola sumber daya alam.

Melalui pengamatan terhadap alam berupa matahari, bulan, dan bintang, mereka

membangun sistem pertanian yang selaras dengan ritme lingkungan

Blepanawa merupakan sebuah desa adat yang berada di Kecamatan Demon

Pagong, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Wilayah

ini memiliki bentang alam khas pegunungan dengan masyarakat yang masih

memegang teguh tradisi dan kearifan lokal dalam aktivitas pertanian. Sejak dahulu,

masyarakat Blepanawa mengandalkan tanda-tanda alam seperti posisi matahari,

bulan, dan bintang sebagai penentu awal musim tanam. Tradisi ini tidak hanya

menjadi pedoman agraris tetapi juga mencerminkan cara pandang masyarakat

terhadap harmoni antara manusia dan alam.

Masyarakat di Blepanawa memiliki tradisi unik dalam menentukan awal musim

tanam yang diwariskan secara turun-temurun. Sebelum memulai bercocok tanam,

seorang tokoh adat mendapatkan tugas khusus untuk memantau posisi matahari di

pagi hari serta posisi bulan dan bintang di sebelah timur pada sore hari.


Sains Penentuan Masa Tanam

Tempat pemantauan berada di kampung lama yang kini tidak berpenghuni. Pada

masa lampau, sebuah pohon digunakan sebagai penanda posisi matahari, bulan,

dan bintang. Namun, karena pohon tersebut telah mati, digantikan oleh sebuah

tiang besi dengan batang besi kecil di puncaknya.

Pada pagi hari, batang besi itu akan sejajar dengan pohon kemiri tua di bukit

seberang sementara matahari terbit berada tepat di atas bukit tersebut. Pada sore

hari, tiang besi akan sejajar dengan bukit kecil di punggungan Gunung Mandiri,

diikuti dengan munculnya bintang paling terang di Timur dan bulan.

Apabila kedua fenomena tersebut terjadi pada hari yang sama, maka esok harinya

ditetapkan sebagai waktu untuk mulai menanam. Setelah tokoh adat bertugas

memulai penanaman, barulah masyarakat secara serentak ikut menanam. Tradisi ini

biasanya berlangsung pada pertengahan bulan November antara tanggal 15

sampai 21. Masyarakat percaya bahwa waktu tanam ini juga menjadi penanda

kondisi iklim. Jika penentuan waktu jatuh pada tanggal 15–17, musim hujan tahun itu

akan singkat. Namun, jika bergeser hingga tanggal 21, maka musim hujan

cenderung panjang. Penanaman yang dilakukan sesuai tradisi ini dipercaya dapat menghindarkan tanaman dari angin Barat yang kerap merobohkan jagung

maupun padi.

Sebaliknya, masyarakat yang menanam sebelum waktu yang ditentukan biasanya

mengalami kegagalan. Walaupun tanaman tumbuh subur tetapi tidak berisi, padi

hampa, dan jagung tanpa biji. Bahkan terkadang meskipun hujan sudah turun

sebelum tanda-tanda sejajar muncul, masyarakat tetap menunggu hingga

penanda matahari dan bulan sejajar. Begitu pun sebaliknya, meski hujan belum

turun, jika penanda telah muncul maka penanaman harus segera dilakukan.

Masyarakat juga memiliki aturan adat selama masa tanam hingga panen. Tidak

diperbolehkan ada suara keras seperti musik (pesta) maupun mesin. Penggunaan

gergaji mesin harus diselesaikan sebelum masa tanam dimulai. Aktivitas

pembakaran di luar rumah, baik sampah maupun ranting juga dilarang. Satu

satunya api yang boleh menyala hanyalah tungku di rumah atau pondok kebun.

Dalam proses pasca panen, masyarakat Blepanawa tidak menggunakan mesin

perontok, melainkan dengan metode tradisional dengan cara diinjak. Menariknya,

tidak semua hasil panen langsung diolah. Sebagian disimpan untuk upacara adat

dan benih tahun berikutnya sehingga beras yang dikonsumsi pada tahun berjalan

seringkali berasal dari panen tahun sebelumnya. Tradisi penyimpanan ini membuat

ketahanan pangan masyarakat tetap terjaga sepanjang tahun.


Praktek Keberlanjutan Sejati

Serangkaian aturan adat di atas menggambarkan sebuah praktek keberlanjutan

yang sejati. Aturan adat yang melarang kebisingan dan pembakaran

mencerminkan kesadaran ekologis untuk menjaga harmoni dengan alam.

Masyarakat percaya bahwa alam sedang bekerja dalam keadaan sunyi dan tenang, seperti Bumi yang diam-diam menumbuhkan benih, hujan yang turun

dengan sabar, dan angin yang berembus tanpa gaduh. Manusia diajak untuk

menanam dengan penuh kesederhanaan. Dalam keheningan itu tumbuh

pengharapan, lahir ketahanan pangan, dan terjaga keseimbangan hidup.

Kearifan lokal masyarakat Blepanawa mengajarkan bahwa keberlanjutan tidak

selalu datang dari teknologi modern tetapi juga dari kemampuan manusia untuk

mendengar bahasa alam, menghormati iramana, dan hidup berdampingan dalam

keseimbangan.