Tradisi masyarakat Blepanawa menunjukkan bahwa pengetahuan lokal berbasis kearifan lokal mampu menjadi pedoman dalam mengelola sumber daya alam. Melalui pengamatan terhadap alam berupa matahari, bulan, dan bintang, mereka membangun sistem pertanian yang selaras dengan ritme lingkungan.
Blepanawa merupakan sebuah desa adat yang berada di Kecamatan Demon Pagong, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Wilayah ini memiliki bentang alam khas pegunungan dengan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan kearifan lokal dalam aktivitas pertanian. Sejak dahulu, masyarakat Blepanawa mengandalkan tanda-tanda alam seperti posisi matahari, bulan, dan bintang sebagai penentu awal musim tanam. Tradisi ini tidak hanya menjadi pedoman agraris tetapi juga mencerminkan cara pandang masyarakat terhadap harmoni antara manusia dan alam.
Masyarakat di Blepanawa memiliki tradisi unik dalam menentukan awal musim tanam yang diwariskan secara turun-temurun. Sebelum memulai bercocok tanam, seorang tokoh adat mendapatkan tugas khusus untuk memantau posisi matahari di pagi hari serta posisi bulan dan bintang di sebelah timur pada sore hari.
Sains Penentuan Masa Tanam
Tempat pemantauan berada di kampung lama yang kini tidak berpenghuni. Pada masa lampau, sebuah pohon digunakan sebagai penanda posisi matahari, bulan, dan bintang. Namun, karena pohon tersebut telah mati, digantikan oleh sebuah tiang besi dengan batang besi kecil di puncaknya.
(pohon patokan yang sudah tumbang)
Pada pagi hari, batang besi itu akan sejajar dengan pohon kemiri tua di bukit seberang sementara matahari terbit berada tepat di atas bukit tersebut. Pada sore hari, tiang besi akan sejajar dengan bukit kecil di punggungan Gunung Mandiri, diikuti dengan munculnya bintang paling terang di Timur dan bulan.
(tiang besi)
Apabila kedua fenomena tersebut terjadi pada hari yang sama, maka esok harinya ditetapkan sebagai waktu untuk mulai menanam. Setelah tokoh adat bertugas memulai penanaman, barulah masyarakat secara serentak ikut menanam. Tradisi ini biasanya berlangsung pada pertengahan bulan November antara tanggal 15 sampai 21. Masyarakat percaya bahwa waktu tanam ini juga menjadi penanda kondisi iklim. Jika penentuan waktu jatuh pada tanggal 15–17, musim hujan tahun itu akan singkat. Namun, jika bergeser hingga tanggal 21, maka musim hujan cenderung panjang. Penanaman yang dilakukan sesuai tradisi ini dipercaya dapat menghindarkan tanaman dari angin Barat yang kerap merobohkan jagung maupun padi.
Sebaliknya, masyarakat yang menanam sebelum waktu yang ditentukan biasanya mengalami kegagalan. Walaupun tanaman tumbuh subur tetapi tidak berisi, padi hampa, dan jagung tanpa biji. Bahkan terkadang meskipun hujan sudah turun sebelum tanda-tanda sejajar muncul, masyarakat tetap menunggu hingga penanda matahari dan bulan sejajar. Begitu pun sebaliknya, meski hujan belum turun, jika penanda telah muncul maka penanaman harus segera dilakukan.
Masyarakat juga memiliki aturan adat selama masa tanam hingga panen. Tidak diperbolehkan ada suara keras seperti musik (pesta) maupun mesin. Penggunaan gergaji mesin harus diselesaikan sebelum masa tanam dimulai. Aktivitas pembakaran di luar rumah, baik sampah maupun ranting juga dilarang. Satu satunya api yang boleh menyala hanyalah tungku di rumah atau pondok kebun.
Dalam proses pasca panen, masyarakat Blepanawa tidak menggunakan mesin perontok, melainkan dengan metode tradisional dengan cara diinjak. Menariknya, tidak semua hasil panen langsung diolah. Sebagian disimpan untuk upacara adat dan benih tahun berikutnya sehingga beras yang dikonsumsi pada tahun berjalan seringkali berasal dari panen tahun sebelumnya. Tradisi penyimpanan ini membuat ketahanan pangan masyarakat tetap terjaga sepanjang tahun.
(hasil panen)
Praktek Keberlanjutan Sejati
Serangkaian aturan adat di atas menggambarkan sebuah praktek keberlanjutan yang sejati. Aturan adat yang melarang kebisingan dan pembakaran mencerminkan kesadaran ekologis untuk menjaga harmoni dengan alam. Masyarakat percaya bahwa alam sedang bekerja dalam keadaan sunyi dan tenang, seperti Bumi yang diam-diam menumbuhkan benih, hujan yang turun dengan sabar, dan angin yang berembus tanpa gaduh. Manusia diajak untuk menanam dengan penuh kesederhanaan. Dalam keheningan itu tumbuh pengharapan, lahir ketahanan pangan, dan terjaga keseimbangan hidup.
Kearifan lokal masyarakat Blepanawa mengajarkan bahwa keberlanjutan tidak selalu datang dari teknologi modern tetapi juga dari kemampuan manusia untuk mendengar bahasa alam, menghormati iramana, dan hidup berdampingan dalam keseimbangan.