Berawal dari live in di Desa Laitaku.
Satu bulan pertama ketika penulis live in di Desa Laitaku, banyak hal-hal baru yang ditemui, mulai dari kondisi alam yang berbeda dari tempat tinggal sebelumnya, kondisi budaya, serta warga masyarakat yang pastinya berbeda. Disini penulis belajar banyak tentang arti kehidupan yang sesungguhnya, meskipun masih 1 bulan, perbedaan itu sangat terasa.
Desa Laitaku merupakan salah satu Desa belum berlistrik dengan kondisi kelistrikan hanya sampai di jalan utama (Pertigaan masuk ke Desa) dan jaraknya sampai ke kantor Desa yaitu kurang lebih 3,3 km, sedangkan jarak dari tiang listrik PLN kurang lebih 4,4 km. Penerangan rumah warga masyarakat berasal dari LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) yang merupakan bantuan dari Kementerian ESDM tahun 2018 dan di 30 rumah ditambah bantuan SHS (Solar Home System) dari Dinas Pertambangan Sumba Timur tahun 2012.
Meskipun PLN belum masuk, akan tetapi aktivitas mereka tetap seperti biasanya, yang membedakan waktu aktivitasnya, sekitar jam 20.00 mereka sudah berada di dalam rumah dan sebagian sudah tidur, karena kondisi luar yang gelap.
Awal live in saya tinggal bersama Bpk Stefanus dan merupakan Kaur Pemberdayaan masyarakat, dan istrinya juga merupakan Kader Tekad, visi mereka juga sama untuk pelayanan terhadap masyarakat, sehingga setiap saya pergi kemana-kemana selalu didampingi oleh beliau berdua. Selepas keliling kerumah-rumah warga untuk melihat secara langsung kehidupan warga desa laitaku, dengan lelahnya kaki yang menghampiri, hanya dapur tempat uatama yang kami tuju untuk mencari sesuap nasi dan secangkir kopi.
Di dapur sinilah kami saling bercerita dan berbagi pengalaman, serta motivasi-motivasi yang dapat menambah semangat untuk mengenal lebih dalam warga Desa Laitaku. Dari kesederhanaan inilah penulis banyak mempelajari tentang cara mensyukuri nikmat Allah SWT yang telah diberikan.