Masyarakat adat Dayak meratus di Desa Datar Ajab Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan memiliki tradisi turun menurun dan kepercayaan terhadap proses menanam padi yang menjadikan acuan dalam melaksanakan ritual adat mulai dari memperispakan ladang hingga panen yang dilaksanakan di balai adat. Padi tidak hanya dianggap sekedar makanan namun memiliki makna yang lebih sakral dan relegius. Setelah melaksanakan ritual aruh wanang (panen raya), masyarakat adat memasukan padi hasil panen yang telah didoakan kedalam lampau (lumbung padi) kegiatan ini disebut dengan bebuat padi. Ritual babuat padi dilakukan pada masing-masing lampau dengan membacakan mantra dan meletakan ringgitan yakni ukiran daun pohon aren yang masih muda serta beberapa dedaunan. Setiap satu keluarga memiliki satu lampau, sedangkan dalam satu lampau terdiri dari beberpa lulung (tempat menyimpan padi). Uniknya padi yang disimpan didalam lulung bertahan hingga berumur 10-15 tahun tidak rusak sama sekali, hal tersebut diakibatkan bahan dasar lulung yang terbuat dari kulit kayu damar yang dipercaya masayarakat dapat membuat awet padi.
Saya mendapatkan kesempatan melihat langsung ke dalam lampau abah dika, didalam lampau tersebut terdapat 4 lulung yang berisi penuh. Menurut abah dika dalam kurun 5-8 tahun apabila tidak menanam padi mereka masih bisa bertahan hidup dengan padi tersebut, maka tak khayal umur padi hingga puluhan tahun dikarenakan setiap tahun panen dan diisi oleh beras yang baru, selain daripada itu dalam kepercayaan masyarakat Dayak meratus pantang menjual padi, apabila menjual padi maka hasil panen akan berkurang bahkan bisa gagal panen. Kabupaten HST memiliki 208 balai adat, jika diakumulasikan setiap balai adat saja menghasilkan 9 kwintal (900 kg) maka setiap tahun Kabupaten HST memiliki cadangan padi sebesar 187.200 kg (187 ton). Sebuah jumlah yang signifikan dalam menjamin ketahanan pangan Kabupaten HST. Dampak pandemic covid19 hampir dirasakan seluruh daerah di Indonesia terutama pada stok pangan, namun hal tersebut tidak terlalu berdampak pada desa di pegunungan meratus, mereka dapat memenuhi kebutuhan pokok dan mampu memberikan kontribusi bagi ketahanan pangan di Kabupaten HST. Masyarakat adat di Desa Datar Ajab secara umum tidak mengenal istilah dan konsep ketahanan pangan ataupun jejak ekologis (ecologis food print) namun konsep itu telah mereka sudah memperaktekannya sejak jaman dahulu secara turun menurun. Hal tersebutlah yang akhirnya membuat saya tidak pernah membeli beras selama tinggal di desa, masyarakat selalu mengatakan tidak ada jual beras disini, namun apabila kehabisan beras bepadah (minta) pasti diberi beras. Tapi faktanya tidak sampai meminta beras, masyarakat datang kerumah memberi beras dan setiap kali berkunjung kerumah warga selalu diberi beras, sehingga dilarang membeli beras di desaku.