Setelah melakukan koordinasi dan pelaporan dengan koordinator wilayah dan rekan seteam Papua satu, saya harus cepat kembali ke lokasi Live in karena pihak pembangunan SPEL mengatakan bahwa dalam waktu dekat mereka akan terbang ke Kampung Oray dari Nabire menggunakan helikopter. Pada tanggal 7 Mei 2022 pagi-pagi sekali saya sudah menuju ke Kampung Seram mencari kendaraan (longboat) untuk ditumpangi, saya mendapat tumpangan longboat dari Kampung Lobo, sekitar pukul 12.00 WIT saya tiba di Kampung Lobo dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar tiga jam ke Bakuara (rumah singgah di pesisir), ternyata banyak warga Kampung Oray yang turun ke Bakuara dan belum kembali karena ada permasalahan antar sesama warga. Saya tinggal bersama mereka beberapa hari sambil mencari orang untuk menemani saya berjalan kaki ke Kampung Oray. Dikarenakan tidak ada warga yang kembali ke kampung maka pagi itu tanggal 12 Mei 2022 saya melanjutkan perjalanan ke Kampung Oray sendirian, saya takut jika pihak SPEL tiba dan tidak ada warga di Kampung Oray. Sekitar pukul 16.00 WIT saya tiba di bukit Weramba dan bermalam disitu, malam itu saya sendirian dibawa hujan deras dan ditemani cahaya api ditungku yang saya buat untuk menghangatkan tubuh. Keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan dan tiba di Kampung Oray sekitar pukul 17.00 WIT, selama perjalanan hanya pisang bakarlah bekal saya. Setibanya di kampung kondisi kampung sangat sepih, karena warga pada pergi meninggalkan kampung, saya mencari makan ke rumah bapak Doni Oruw yang kebetulan tinggal di kampung istrinya membakar pisang dan memberikan kepada saya untuk dimakan. Saya bertanya kepada bapak Doni Oruw “warga pada ke mana?” bapak Doni menjawab “Sebagian yang kamu temui di Bakuara itu lagi mengurus masalah mereka dan yang lain lagi pergi ke hutan dan kampung tetangga untuk mencari makan. Kami lagi musim lapar pisang-pisang lagi berkurang dan singkong yang baru ditanam belum dapat dipanen sehingga mungkin agak lama mereka akan kembali lagi ke kampung”.
Pada bulan ini saya tinggal di Kampung Oray bersama warga yang jumlahnya tidak sampai 15 orang, itupun kebanyakan lansia dan para ibu hamil yang hampir melahirkan. Induk semangku juga tidak ada di rumah sehingga saya tinggal sendirian, setiap hari saya diberi pisang oleh tetangga sebagai makanan sehari-hari sambil berharap pihak SPEL segera datang. Selama hampir tiga minggu berada di Kampung Oray setiap hari saya hanya makan pisang bakar dan jika ingin memakan sayur saya memasak sayur itupun hanya direbus tanpa garam dan bumbu apapun. Jika ingin makan makanan yang berbeda saya sengaja bertamu ke tetangga itupun hanya sekali saya mendapatkan makan berupa biji-bijian yang direbus. Warga yang tinggal di kampung hampir semuanya tidak dapat berbahasa Indonesia sehingga ketika saya bertamu dan berkumpul bersama mereka menggunakan bahasa isyarat sambil senyum-senyum dan tertawa tanpa tahu apa maksudnya. Jika jenuh di rumah saya mengikuti seorang anak mudah yang cacat mental menjerat dan menangkap tikus untuk dimakan.
Tak terasa sudah tanggal 26 Mei 2022 pihak SPEL belum juga tiba dan saya harus kembali ke Kota untuk koordinasi dan pelaporan maka pagi itu saya turun ke pesisir. Sekitar pukul 18.00 hari sudah mulai gelap saya tiba di Bukit Aswata dan kebetulan ada warga juga yang menginap di rumah singga Aswata dan bermalam bersama mereka. Keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan ditengah perjalanan saya bertemu bapak Tonce Oruw dia kaget melihat saya yang sangat kurus dan berkata “Pa Bos kamu kurus sekali” saya hanya tersenyum. “Bulan depan kebun singkong saya sudah dapat dipanen jadi kita sudah bisa makan singkong” lanjutnya berbisik dengan raut wajah sedih.
Bulan ini berat badan saya menurun drastis, mungkin karena setiap hari hanya mengonsumsi pisang bakar dan sayur tanpa garam.
Inilah ceritaku di bulan Mei yang sungguh berkesan bagiku..