Di kampung Sawi, masyarakat biasanya menanam berbagai jenis sayur di kebun. Walaupun jarak dari kebun dengan pemukiman cukup jauh, tapi tanah di kebun jauh lebih subur dibandingkan tanah di daerah pemukiman sehingga masyarakat tetap menanam sayur di kebun daripada tidak ada sama sekali. Ada beberapa sayur yang biasanya di tanam di kebun yaitu daun gedi, rica, keladi dan pisang.
Daun gedi itu kalo kata Mama Jawa tempat saya tinggal, yang masak harus orang yang sudah biasa karena kalo tidak sayurnya itu akan berlendir. Dan memang jika di rumah yang masak sayur gedi Mama Jawa sayurnya berlendir karena Mama Jawa tidak biasa, tapi kalo yang masak sayur Yanti atau Mama Yanti itu tidak ada lendir sama sekali.
Siang itu ketika saya melihat Robeka salah satu murid kelas 6 SD berlari membawa noken.
“Robeka ko mo kemana?
“Pergi ambil daun gosok-gosok belanga Bu” jawabnya sembari tersenyum.
“Ooh iyaa sudah.
Waktu itu saya berfikir bahwa Robeka itu mencari daun untuk menggosok belanga karena belanga di rumahnya mungkin sudah hitam akibat memasak menggunakan kayu bakar. Tetapi ternyata di sore hari tiba-tiba di rumah ada daun yang baru pertama kali saya lihat.
“Kakak ini sayur gosok belanga”
“Hah?”
“Ini itu sayur gosok-gosok belanga atau biasa disebut sibro atau gohi”.
“ooh saya kira tadi Robeka pergi ambil daun untuk gosok dia punya belanga, ternyata pergi ambil sayur” kataku.
Malamnya sayur itu kemudian diolah dengan cara ditums.
Di kampung masyarakat terbiasa mengolah sayuran dengan cara ditumis daripada dimasak bening. Tapi memang jika di kampung rasa sayurnya itu jauh lebih enak karena dimasak menggunakan kayu bakar, sehingga sayurnya itu ada aroma-aroma asap yang membuatnya menjadi terasa lebih nikmat.
Daun gosok-gosok belanga itu adalah tumbuhan yang tumbuh sendiri tidak perlu ditanam seperti sayur gedi atau lainnya. Namun biasanya sayur ini juga ada di hutan, sehingga jika ingin makan sayur ini harus pergi mencari ke dalam hutan terlebih dahulu.