Ketika menginjakkan kaki di PPSDM KEBTKE, sangat penasaran bagaimana lokasi penempatan nantinya, apakah akan ada di dekat laut, di daerah rawa- rawa, di daerah pegunungan atau saya beruntung dapat di daerah yang cukup dekat dengan suasana perkotaan? Bagaimana dengan suasananya, pemandangannya, budayanya, makanan khasnya? Terlebih, bagaimana kelistrikan disana, apakah benar saya akan menempati daerah yang tidak berlistrik selama setahun?
Tanggal 2 Desember merupakan titik balik setelah penerjunan ke lokasi pengabdian. Berdiri di atas Bukit Rapa Tallang dengan melihat dari kejauhan Desa Salubanua, desa yang menjadi suatu ketakutan dari segi akses jalan dan akses listrik. Ketakutan itu disampaikan oleh warga desa – desa tetangga Desa Salubanua, yaitu Desa Saludurian, Desa Salumakak, dan orang – orang di Kecamatan Mambi lainnya. Tidak banyak warga yang sudah pernah ke Desa Salubanua, karena mereka tidak tahan dengan medan jalan yang dilewati dan lamanya waktu yang akan ditempuh. Jalan menuju Desa Salubanua tidak dapat dilewati dengan mudah, apalai ketika musim penghujan. Jalan tersebut akan menjadi licin dan berlumpur ketika musim penghujan datang. Kendaraan satu – satunya yang dapat melewati medan Desa Salubanua adalah mobil hartop yang tidak setiap hari berangkat ke Desa Salubanua. Mobil hartop adalah mobil seperti jeep yang usang namun bandel, tidak kberpintu dan bermuatan semen, kuali besar dan beberapa tabung gas. Mobil hartop melaju dengan perlahan dan berguncang melalui medan sulit menuju Desa Salubanua. Perjalanan selama kurang lebih 3 jam disuguhi oleh hijaunya pohon – pohon yang menyelimuti bukit – bukit disana. Setelah setengah perjalanan, mobil hartop membutuhkan istirahat mendinginkan mesinnya yang hampir nonstop berjalan tanpa berhenti. Sambal menunggu mesin dingin, telur rebus sebagai perbekalan yang Kami bawa dari rumah menemani obrolan hangat Kami. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan ke Desa Salubanua sekitar 1 jam.
Masuk ke jalan beton menuju desa, akhirnya guncangan mobil nyaris kami akhiri, dan masuklah kami ke Desa Salubanua, desa yang kecil namun warganya memiliki hati yang besar. Sangat tenang dan dingin. Desa Salubanua memiliki satu halan poros yang lurus dan rumah yang ada hanya di sekitar jalan itu. Rumah yang ada di Tanah Salubanua ini memiliki model khas adat melayu, kupikir akan berbentuk khas Suku Toraja, ternyata ya tidak juga. Rumah panggung, dengan lantai kayu dan atap seng. Rumah disana ada sekitar 30-an rumah dua dusun yaitu Dusun Rante dan Lombo' Ipoh, eits ternyata masih ada dua dusun lain di atas gunung. Dusun Kaloean dan Dusun Pada Padang. Warga Dusun Pada Padang sudah tidak ada lagi, karna mereka pindah ke daerah transmigrasi. Sehingga hanya Dusun Kaloean yang harus Kami kunjungi.
Entah mengapa, menurutku warga di Desa yang pedalaman dan terisolasi labih baik dan hangat daripada yang di dekat akses bagus. Kami pernah dianggap penculik anak, ngobrol dengan pintu, dan dll. Namun, desa salubanua menurutku tidak fafifu dan langsung menyambut Kami dengan baik, baik sekali. Hari pertama datang, Kami langsung dikasih kelapa muda, mengingatkan Kami pada warga Dusun Katiluaan, Saludurian. Ketika wawancara pun, mereka tanpa curiga menyambut Kami, bertanya² lebih jauh mengenai Kami dan menjamu Kami dengan secangkir kopi hangat yang sangat membantu Kami menghangatkan tubuh.
5 Desember, Kami ditemani Kak Mail berjalan menuju Dusun Kaloean. Kami bersiap siap pagi hari dan nenek menyiapkan bekal makan di jalan. Sepetinya akan jauh dan tidak terbayangkan. Saya berhenti berekspektasi supaya tidak kecewa nanti. Ketika kami melewati jalan utama desa salubanua, kami disemangati oleh bapak ibu yang ada melihat kami berjalan. Saya juga sempat melambaikan tangan kepada ibu ibu yang sedang tanam padi jauh disana. Aku teriak "Do'akan Kami ya Buu...!!"
1 km berjalan turun, kami menemui sungai yang lebarnya 5-6 meter dan harus kami sebrangi. Kami berjalan pelan pelan, karna air di sungai setinggi 40 cm. Yah, selutut lah dengan batu batuan yang licin luar biasa. Akhirnya sampai ke sebrang sungai, Kami lun melanjutkan perjalanan 4km selanjutnya. Tak pernah terbayang jalan setapak menanjak bukit terus menerus. Ada beberapa titik saja yang jalan datar, namun kebanyakan menanjak. Belum lagi ditambah pacet/lintah darat yang menggigit kaki kami. Di pemberhentian kami mendapati batu untuk mencari sinyal, saya membersihkan pacet yang ada di kaki. Langsung saya mengeluarkan gunting untuk memutilasi oacet yang menggigit saya. Namun, kak Mail menyarankan untuk mengoleskan balsem saja ke kaki. Ternyata lebih ampuh. Berjalan.. terus berjalan, di tengah jalan Kak Mail menawarkan Dambu Jole, kukira manis ternyata ada sensasi asam yang bikin Mata berkesip - kedip. Sambil nyemil dambu jole, kami terus berjalan sampai pada akhirnya melihat kubah masjid sederhana terbuat dari seng. Alhamdulillah, sudah sampai perjalanan menuju Dusun Kaloean yang banyak orang takutkan perjalanannya menuju sini.
lanjut part 2...