10 bulan hidup bersama masyarakat adat Cewunthda, Suku Khima-Khima, di Pulau Kimaam, Merauke bagi saya memberikan perspektif baru dalam memandang Pendidikan. Selama ini kita diberikan informasi bahwa Pendidikan di Papua secara umum masih “tertinggal” jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Tentu hal itu akan terbukti jika kita melihatnya menggunakan kacamata masyarakat moderen. Fasilitas pendidikan sangat terbatas, di Kampung Padua, tempat saya tinggal selama 10 bulan, hanya terdapat 1 SD dengan tenaga pengajar hanya berjumlah 3 orang. Untuk melanjutkan SMP, anak-anak harus pergi menyebrang ke pusat distrik (di Pulau utama Papua), meninggalkan orang tua di kampung, hidup merantau demi mengenyam Pendidikan. Tapi pernahkah kita mencoba memandang hidup menggunakan “kacamata” mereka? Memahami jalan pikiran masyarakat yang acap kali disebut “tertinggal”.
Sebagai orang asing yang masuk ke dalam lingkungan baru, 3 bulan pertama saya habiskan untuk mengenal sekaligus menganalisis kondisi masyarakat. Banyak hal unik yang saya temukan saat mencoba mengenali masyarakat Cewunthda di Kampung Padua. Salah satunya adalah bagaimana cara mereka membeli barang-barang di kios. Umumnya seseorang akan merencanakan apa yang akan dia beli serta jumlah uang yang dikeluarkan sebelum tiba di kios. Tetapi yang saya temukan di sini adalah masyarakat yang datang ke kios, lalu menyebutkan beberapa barang yang mau mereka beli. Setelah penjual memberikan barang dan uang kembalian, mereka berpikir kembali lalu menambah barang belian. Menariknya adalah mereka bisa mengulang hal tersebut hingga 4-5 kali. Penjual kios yang sudah terbiasa dengan cara masyarakat saat membeli akan membiarkan mereka menambah barang belian sembari menyebutkan sisa uang yang tersisa dari nominal awal yang masyarakat berikan. Sekilas melihat fenomena ini saya berasumsi bahwa terdapat masalah dalam kemampuan berhitung masyarakat. Tentunya asumsi tersebut datang dari saya yang masih menggunakan “kacamata orang kota”, pendatang yang belum berusaha memahami cara pikir mereka. Penasaran akan hal tersebut membuat saya semakin banyak berinteraksi dengan masyarakat. Belakangan baru saya ketahui bahwa di dalam bahasa daerahnya, mereka hanya mengenal angka dari 1-6. Saat mencoba-coba mempelajari bahasa daerah mereka, hitungan mereka selalu terputus di angka 6. Saat saya coba bertanya kepada tete-tete di kampung, mereka menjelaskan “Kami pu angka itu sampai di 6 saja, nanti habis kasih kembali lagi ke angka 1”. Kebingungan saya akan sistem numerik yang tidak “wajar” tersebut sedikit terjawab saat saya berbincang dengan Bapak Pastor Pius Manu, putra daerah Kampung Padua yang kini bertugas menjadi pastor di Keuskupan Merauke. Beliau menjelaskan bahwa dalam sistem numerik Suku Khima-Khima, angka 6 seperti angka 10 pada sistem numerik yang umum digunakan. Setelah angka 6, mereka akan menambahkan angka 1 seperti angka 11 yang merupakan pengga``bungan 10 dengan 1. Terus seperti itu hingga bertemu angka 12 yang dapat diibaratkan sebagai 20. Sistem kelipatan 6 ini juga digunakan dalam menentukan jumlah persembahan-persembahan yang disiapkan untuk kegiatan-kegiatan adat. Seperti wati (minuman khas) 6 tiang, babi 12, hingga sagu 24 yang biasa disajikan saat acara peringatan kematian. Memiliki mental model yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya tentu akan membingungkan saat bertemu dengan cara berpikir yang diajarkan di sekolah-sekolah formal. Lucunya, kita yang tidak memahami cara berpikir ini dengan mudahnya menyebut mereka “bodoh” saat sulit menangkap pelajaran-pelajaran di sekolah.
Belum selesai dikejutkan dengan uniknya sistem numerik mereka, saya dihadapkan dengan perbedaan adab yang berlaku di masyarakat adat Cewunthda. Hal ini saya sadari karena interaksi saya dengan anak-anak di Kampung Padua. Hal lumrah untuk mendapatkan hati anak-anak adalah dengan memeberikan makanan-makanan ringan. Cara tersebut saya gunakan juga pada masa-masa pendekatan dengan masyarkat. Tidak ada balasan yang saya harapkan, hanya supaya anak-anak itu mau kembali bermain bersama di kemudian hari. Akan tetapi, beberapa kali saya lakukan hal tersebut jarang sekali saya mendengar ucapan “terimakasih” dari mereka. Pikiran pendek ku “Ah, orang tua dan guru mereka di sekolah masih kurang mengajarkan tata krama”. Pikiran pendek itu juga yang menggerakan saya untuk berusaha mengajarkan mereka kebiasaan mengucapkan terimakasih. Tak kunjung terbiasa, saya mencoba mencari tahu bahasa daerah mereka untuk mengucapkan terimakasih. Tetapi yang saya dapatkan justru kebingungan masyarakat saat ditanya hal tersebut. Beberapa orang menjawab “terimakasih saja”, sebagian lagi menjawab “tidak ada itu”, dan sisanya hanya terdiam kebingungan tidak menjawab. Ternyata mereka tidak mengenal kata “terimakasih” di dalam bahasanya. Sebuah kata yang umumnya menjadi basic manner dalam kehidupan sosial. Namun bukan berarti masyarakat adat Cewunthda adalah manusia-manusia yang tidak tahu terimakasih. Interaksi-interaksi mendalam dengan mereka mengantarkan saya pada pemahaman bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat memegang prinsip balas budi. Cara mereka berterimakasih bukan menggunakan ucapan, tetapi tindakan atau suatu hal yang nyata. Mendapatkan sesuatu dari seseorang berarti mendapatkan kewajiban untuk memberikan sesuatu yang lebih kepada orang tersebut suatu saat nanti. Ketidak mampuan untuk membalas hal tersebut menyangkut harga diri bagi mereka. Hal yang membuat saya percaya akan prinsip tersebut adalah kejadian yang saya alami bersama dengan induk semang selama saya tinggal di Kampung Padua. Saat itu masyarakat kampung sedang berkumpul di lapangan SD karena akan mendapatkan dana BLT yang rutin mereka dapatkan tiap tahunnya. Dana tersebut selalu dinantikan masyarakat kampung. Wajar saja, uang adalah hal yang cukup asing bagi mereka, saat barang tersebut datang, kios-kios akan kewalahan meladeni masyarakat kampung yang ingin membeli barang-barang yang selama ini tidak bisa mereka dapatkan. Bahkan tak jarang uang tersebut menimbulkan masalah antar masyarakat sanking diinginkannya. Ditengah keramaian warga yang telah mendapatkan BLT, saya dipanggil oleh Bapak Anton dan Mama Magda, induk semang saya. Kami berbincang berapa banyak uang yang mereka dapatkan, apa yang mau mereka beli, dan obrolan-obrolan ringan lainnya. Ditengah obrolan tersebut, Mama Magda tiba-tiba menyodorkan 1 lembar uang 100 ribu sembari berkata “Kaka ambil sudah, ini ada sedikit”. Sontak saya menolak pemberian tersebut karena tidak ada keinginan untuk meminta. Tetapi mereka tetap memaksa, mereka menjelaskan “kakak su bantu mama dengan bapak banyak, bukan sedikit, jadi kakak harus dapat”. Memang sebelumnya beberapa kali saya memberikan mereka sedikit pinang sirih dan membantu beberapa pekerjaan mereka. Tapi hanya sekedar itu saja, tidak pernah berupa uang sebesar itu. Dari kejadian itu saya percaya bahwa adab yang berlaku dimasyarakat untuk berterimakasih adalah dengan membalas budi, bukan sekedar kata-kata “terimakasih”.
Hidup bersama dengan masyarakat adat berarti menghadapi konstruksi sosial yang telah terbangun berpuluh-puluh tahun hingga berabad-abad lamanya. Konstruksi sosial yang masih minim infilstrasi kehidupan moderen. Yang sering kita lupakan adalah merekapun selama ini hidup, bukan dengan cara hidup kita, tetapi dengan pengetahuan-pengetahuan lokal yang sesuai dengan ruang hidupnya. Jika selama ini pendidikan formal tidak kunjung berbuah sesuai apa yang diharapkan kurikulum nasional, kita perlu kembali merefleksikan, mungkinkah kita belum cukup berusaha memahami mereka? Memahami cara mereka menerjemahkan bentuk-bentuk di dunia ke dalam imajinasi manusia. Memahami standar moral yang berlaku dan sudah mengakar dengan kehidupan mereka. Memahami cara mereka berinteraksi dengan alam, menjaga dan merawat lingkungan melalui budaya dan hukum-hukum adat yang tak jarang dianggap “konyol” masyarakat urban. Justru saat kita mencoba memahami mereka, di sanalah kita akan menemukan khazanah ilmu yang luas. Bukan lagi datang sebagai orang yang mengajari masyarakat tak ber”ilmu”. Tetapi sama-sama belajar dan berbagi soal ragam cara pandang manusia akan hidup ini. Menunjukan bahwa Pendidikan harus dirancang untuk merawat keragaman, bukan menuju keseragaman.