Hubungan persaudaraan yang saling menyayangi sangat jelas terlihat diantara laki-laki dan perempuan di Kampung. Awalnya agak aneh juga karena terbiasa dengan stigma kalau laki-laki yang bergandengan itu biasanya hehe. Kalau disini sesama Laki-laki atau perempuan berjalan bergandengan tangan tidak ada yang berkomentar atau memandangi mereka dengan aneh, inilah Dunia tanpa stigma.
Apa kira-kira yang anda pikirkan saat melihat sesama laki-laki saling berpegangan tangan atau bergandengan tangan saat berjalan? Mungkin seperti melihat pasangan sesama jenis jika di kota-kota besar tapi tidak dengan di pedalaman papua. Masyarakat masih jauh dari stigma tersebut, laki-laki atau perempuan bergandengan sepanjang jalan di tengah pasar, anak-anak pergi dan pulang sekolah saling berangkulan , orang tua terlihat akrab saling menyayangi. Sehingga kehangatan yang terpantau oleh mata kepala terasa hingga kedalam hati. Masyarakat hidup dipenuhi rasa kekeluargaan dan kasih sayang, jauh dari sikap individualisme.
Ungkapan kasih sayang antar lawan jenis tidak terlihat sama sekali, hampir tidak pernah ditemukan pasangan suami istri yang bergandengan tangan. Bahasa cinta mereka dalam bentuk yang berbeda “Kalaupun bertengkar tidak menggunakan senjata tajam hanya tangan dan mulut saja” tutur mama.
Ah mungkin demikianlah bentuk kasih sayang mereka. Fakta nya Jarang sekali laki-laki yang memiliki satu istri, selalu ada kedua, ketiga, pasangan baku bawa dan seterusnya. Pada umumnya kaum perempuan hanya pasrah menerima keadaan dan bersabar.
“Nanti masuk surga itu sendiri- sendiri toh.” Pungkas Mama.
Setiap kali membicarakan tentang anak yang dipelihara untuk diasuh oleh keluarganya, atau hal-hal yang mewajibkan mereka saling bantu dengan semua yang dimiliki tanpa pikir panjang untuk menyelesaikan denda, konsep membagi rata semua makanan saat makan dirumah. Saya jadi terngiang-ngiang ucapan ayah asuh Isak “Kami orang papua baku sayang.” Saya juga kadang jadi terharu.
Masyarakat masih sangat apa adanya, sehingga dalam tingkah laku sehari-hari tampak nyata dan ekspresif. Jadinya campur aduk, kadang-kadang merasa terharu tapi lain kali gemas dan jadi kesal sendiri. Itulah keragaman budaya hingga saat adat budaya tersebut oleh masyarakat dianggap sudah tidak relevan lagi dengan keadaan zaman atau sudah mengerti dampak negatifnya, maka sudah saatnya masyarakat melakukan perubahan.