Langit perlahan mulai berangsur terang, kabut tebal masih menyelimuti layer pegunungan yang terbentang mengelilingi Kampung Bobomani. Aktivitas warga mulai menggeliat. Kios-kios yang menjual segala macam kebutuhan pokok mulai buka, anak-anak menggunakan seragam putih merah ada yang sendiri dan juga bergerombol berangkat menuju ke sekolah sebagian mereka bersepatu sebagian lagi berjalan dengan kaki telanjang. Mama-mama dan Bapak-bapak dengan ciri khas memakai noken lalu lalang di sepanjang ruas jalan. Selain itu harus terbiasa melihat bapak-bapak yang hanya menggunakan koteka (Penutup kemaluan untuk laki-laki) dan mama-mama telanjang dada, pokoknya mantap apa (istilah kalau sesuatu itu keren sekali).
“Koha” sapaan ini yang aku ucapkan jika berpapasan dengan Mama, Bapak dan Adik di sepanjang jalan, koha adalah bahasa dari suku Mee yang berarti Halo/Selamat. Inilah aktivitas pagiku yang sengaja berseliweran dengan radius pergerakan dari basecamp Patriot Dogiyai kearah ruas jalan utama disebelah utara atau hingga toko toraja yaitu toko paling ujung selatan kampung setelahnya sudah jarang rumah-rumah sehingga dilarang keras berjalan-jalan kesana tanpa ada ditemani warga setempat. Aku sudah dua minggu disini masih berusaha mengenali medan, hanya berjalan hingga titik itu untuk sementara, dengan niat mondar-mandir agar bisa berkomunikasi dengan warga.
Kampung Bobomani adalah ibukota Distrik Mapia yang menjadi pusat kegiatan masyarakat. Sekolah dari tingkat SD hingga SMA sudah ada, tapi jangankan membayangkan kehidupan perkotaan yang rebutan mencari sekolah favorit, adanya satu sekolah saja sudah sangat bersyukur. Anak-anak disini harus berjuang jika ingin sekolah karena akses antar kampung yang masih sulit dan berjauhan serta SMA di Kab. Dogiyai hanya ada di Bomomani dan Moanemani. Kendala fasilitas umum seperti sekolah dan kantor-kantor yang dipalang (ditutup) oleh oknum pemilik tanah dibawah bangunan tersebut menyebabkan pelajar SMP Bobomani untuk sementara menggunakan bangunan SD untuk bersekolah setelah anak-anak SD pulang Sekolah, Kantor Camat juga tidak bisa digunakan untuk sementara hingga ada penyelesaian dari pemerintah kepada pemilik tanah yang jika dilakukan pembebasan lahan menggunakan APBD dengan nominal ratusan hingga miliaran, atau menunggu negosiasi agar pemilik tanah berubah pikiran. Demikianlah kondisi sosial masyarakat Dogiyai yang sangat kompleks dengan segala aturan adatnya.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan membangun pasar di kampung-kampung, salah satunya Pasar Bomomani tapi halamannya sudah tertutup rerumputan. Sayang sekali bangunan ini tidak dipergunakan oleh masyarakat, menurut seorang warga salah satu alasannya karena masyarakat tidak suka pasar tertutup dan terpusat dalam satu bangunan. Seandainya pasar yang dibangun lebih adaptif berupa lapak terbuka disepanjang pinggiran jalan apakah mungkin menjadi lebih bermanfaat dari pada memaksakan keinginan yang tidak mewadahi aspirasi dan kearifan lokal, sehingga pembangunan pasar modern di tiap kampung hanya menjadi sebuah proyek penghabisan anggaran. Pembangunan Infrastruktur harus berbanding lurus dengan penyiapan sumber daya manusia agar tepat sasaran dan berfungsi maksimal.