Pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten TTS, beberapa kali berkenalan dengan pendatang yang sudah lama menetap di kota Soe. Bercerita tentang sedikit budaya dan adat masyarakat lokal yang katanya tiap pendatang yang datang dan tinggal awalnya akan disambut dengan adat penyerahan selendang kain tenun yang melambangkan bahwa diterima sebagai keluarga. Makna lainnya jika nanti sudah meninggalkan desa, kehangatan sebagai keluarga akan terus melekat dan kapanpun kembali akan selalu diterima sebagai keluarga.
Selendang pertama ku, kudapatkan dari kampung terjauh desa Lakat. Kampung Toiusapi. Berkunjung ke dusun-dusun beberapali sempat tertunda karena cuaca yang sering hujan. Kondisi jalan yang ketika hujan akan licin tidak dapat dilalui oleh kendaraan, untuk menuju kampung Toiusapi pun harus melewati sungai berbatu yang ketika hujan air akan meluap naik sehingga tidak dapat dilalui kendaraan roda dua maupun roda empat. Kendala lainnya saat itu sedang musim tanam, hampir sebagian masyarakat pada siang hari menghabiskan waktu di kebun sehingga cukup sulit mengumpulkan masyarakat. Ketika sampai pertama kali, mamtua dan baptua yang tinggal di posyandu dusun yang sekarang tidak digunakan lagi tersenyum dan bersalaman menyambutku. Beberapa saat kemudian mulai berdatangan mama-mama dan bapak-bapak yang lain setelah dipukulnya besi yang berbentuk bulat beberapa kali tanda ada pertemuan di posyandu rumah yang ditinggali oleh baptua dan mamtua. Aku sampaikan maksud tujuan ku selama berada di desa Lakat kepada bapak-bapak tetua dan mamtua-mamtua (mama tua) yang hadir saat itu. Tidak semua masyarakat desa yang hadir mengerti bahasa Indonesia karena tidak semua bersekolah dan sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Dawan (bahasa daerah kabupaten TTS). Pergi kali ini ditemani oleh bapak Dusun yang tidak hanya berperan mengantarkan tetapi juga menterjemahkan maksud dan tujuan ku menggunakan bahasa daerah agar lebih dipahami masyarakat desa.
Beberapa waktu aku terdiam karena baptua-baptua dan mamtua-mamtua berbicara bahasa daerah yang aku tidak mengerti. Tak lama bapak dusun menjelaskan bahwa baptua-baptua dan mamtua-mamtua sedang berdiskusi akan menyambut dan menerima ku secara adat makanya jangan sampai aku merasa tidak nyaman karena melihat mereka berbicara bahasa daerah. Aku menjawab tidak masalah sama sekali sambil tersenyum.
Kemudian mamtua mengambil kain tenun berupa selendang yang diletakkan di tempat terbuat dari daun Lontar yang baru ku tahu beberapa hari lalu disebut Lil Ana. Proses adat pun berjalan dengan awalnya para baptua berbicara dalam bahasa daerah. Setelah itu mamtua berjalan kearahku sambil membawa selendang tenun, aku berdiri menyambut kedatangan mamtua yang kemudian mengalungkan kain tenun tersebut dan aku menyalami mamtua sambil berucap terimakasih. Proses yang sederhana tapi penuh makna.
Bukan kebanggaan bisa mendapatkan kain tenun yang penuh nilai ini, lebih dari itu bagaimana mereka menaruh harapan di kedatangan ku kali ini, menerima ku yang datang tanpa membawa apapun, yang masih buta akan perubahan sesungguhnya, serta belum tentu hadirku ini baik bagi mereka. Tetapi semua keraguan ku diyakinkan oleh senyuman mama-mama yang hadir, yang berkata “Ibu, kami sudah senang ibu mau datang berkunjung di kampung ini. Minum dan makan bersama apa yang kami masak sungguh cukup bagi kami dan besar rasa syukur untuk ibu mau bermalam pula.”
Sungguh menyentuh bagi ku, menyadarkan ku akan ketakutan yang menyelimuti selama proses kedatangan akan diterima atau tidak, akan keraguan hal-hal yang akan ku lakukan nanti di desa bahwa sesungguhnya jika niat baik yang kita bawa maka niat baik itu akan menyambut kita dengan hal-hal baik pula. Dari hal ini juga menyadarkan ku bahwa tidak pantas aku mempertanyakan masa depan yang tidak pernah akan ku tahu bagaimana jadinya nanti tapi lakukanlah selalu hal-hal baik semampunya kita karena ini bukanlah ajang perlombaan untuk saling membagakan tentang apa yang sudah kita perbuat selama penempatan. Ku katakan bahwa ini adalah tempat Aku dapat tumbuh dan berkembang serta berproses menjadi diriku yang lebih baik