Kurang lebih sudah memasuki 1 minggu semenjak kenaikan BBM efektif berlaku, seperti yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo dan mulai berlaku pada 3 September 2022 silam. Kenaikan ini menjadi jawaban pemerintah atas anggaran subsidi dan kompensasi BBM yang tahun ini telah mengalami pembengkakan tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 trilun. Pernyataan yang menarik juga disampaikan oleh beliau, bahwa 70% subsidi dinikmati oleh masyarakat mampu dengan kendaraan pribadi [1], sehingga ini menjadi langkah terakhir yang harus diambil oleh pemerintah. Kini, harga Solar dan Pertalite menjadi masing-masing Rp 6.800 dan Rp 10.000 per liternya, termasuk kenaikan BBM non-subsidi seperti Pertamax yang menjadi Rp 14.500 per liter.
Harga jual BBM baru per 3 September 2022 (Sumber: Kemenkeu)
Tentu kita tidak bisa tutup mata dari lanskap pasar minyak dunia terkait kenaikan harga BBM ini. Imbas dari perang Rusia dan Ukraina, suplai minyak mentah pun menjadi volatil. Kenaikan harga minyak mentah juga diakibatkan oleh rencana Arab Saudi yang disinyalir akan memangkas produksi. Terakhir, harga minyak mentah Brent naik 3,88% menjadi 100,22 dollar AS per barrel. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga naik 3,7% jadi 93,74 per barel. Diperkirakan pula laporan mingguan terbaru dari persediaan minyak mentah AS akan menunjukkan penurunan 1,5 juta barrel [2]. Sebagai negara netto importir, tentu kondisi global menjadi langkah yang harus ditanggulangi apabila tidak ingin memperparah kondisi ekonomi yang dalam masa pemulihan ini.
Sektor yang dapat terdampak paling parah tentunya adalah sektor logistik. Menurut Sugi Pranoto yang dilansir dalam CNBC Indonesia [3], setiap kenaikan Rp 1000 harga solar bersubsidi, akan berdampak langsung pada kenaikan tarif logistik sekitar 6–8%. Selain itu, setiap kenaikan Rp1.000 harga Pertalite, memicu kenaikan biaya transportasi logistik sekitar 5–6%. Hal ini dapat menimbulkan trickle-down effect untuk sektor ekonomi lainnya, terutama UMKM dan sektor informal.
Saat membaca bagaimana semua pergolakan ini berlangsung, saya berada di pelosok rawa Kali Passue, tepatnya di Kampung Samurukie. Sebuah kondisi yang menggelitik bagi saya yang mengomentari kondisi ini di tengah keterbatasan semua akses. Maklum, saya lebih senang menetap di kampung dan menggantungkan hidup pada sumber alam saja. Alasannya? Sederhana saja, saya dapat menabung dengan lebih baik. Sekedar mengandalkan modal sosial yang baik, saya dapat menghemat pengeluaran saya menjadi hanya sekitar Rp 500.000 per bulannya, dan makan hanya dari sumber alam saja, seperti sagu dan ikan yang dimasak dengan kayu bakar. Sedangkan di kota dengan segala kenyamanannya, saya bisa kalap dan mengeluarkan hingga 6 kali lipatnya. Segala keterbatasan ini mengajarkan saya untuk selalu merasa cukup. Toh, akhirnya tetap bisa hidup juga kan? Malah terkadang saya bisa sangat kekenyangan makan sagu dengan porsi tak karuan.
Namun tidak bisa dipungkiri, ada beberapa kebutuhan logistik yang menjadi ‘jejaring pengaman’ bagi kami di kampung. Salah satunya adalah BBM. Bagi saya, mungkin BBM hanya menjadi kebutuhan tersier apabila saya ingin mengisi daya perangkat elektronik saya dengan lebih cepat dan nyaman. Saya cukup terbantu dengan memiliki panel surya portabel yang saya bawa untuk memenuhi kebutuhan listrik dasar. Namun bagi masyarakat kampung, memegang peranan penting untuk kegiatan ekonomi mereka, terutama dari segi perhubungan dan transportasi. Para pedagang dan penjual kayu gaharu dapat menjalankan kegiatannya selama ini karena ketersediaan BBM eceran yang harganya berkisar antara Rp 15.000–20.000 per liternya. Begitu juga dengan pembangunan banyak fasilitas umum yang sedang gencar-gencarnya, dengan transportasi logistik yang paling memungkinkan adalah melalui air. Walaupun hampir 3 kali lipat dari HJE (harga jual eceran) yang ditetapkan, roda ekonomi selama ini tetap dapat berjalan.
Sejarah harga BBM di Indonesia (Sumber: Kontan, 6 September 2022)
Namun kenaikan terbaru ini cukup membuat saya paranoid. Kenaikan sebesar 30,72% — terbesar kedua selama pemerintahan Joko Widodo — tentu dapat berdampak pada banyak aspek kehidupan masyarakat. Memang, pada awal pemerintahannya di tahun 2014, terjadi kenaikan sebesar 30,77% yang sempat menyebabkan polemik cukup besar. Namun menurut kesaksian para warga lokal, kegiatan dan pembangunan ekonomi di Kabupaten Mappi kala itu belum selancar saat ini, sehingga dampak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat kebanyakan belum kentara. Pembangunan perumahan warga seperti melalui program PNPM Mandiri — RESPEK baru dimulai, dan masih sedikit warga yang memiliki akses terhadap kendaraan bermotor seperti perahu ketinting dan fiberboat. Penarikan subsidi BBM saat itu digantikan program lain yang lebih tepat guna, dan setidaknya memperlihatkan dampaknya bertahun-tahun kemudian. Semakin mudahnya akses semua lapisan masyarakat terhadap alat transportasi air berbasis mesin bakar saat ini memungkinkan masyarakat memangkas waktu transportasi dari 2–3 hari menggunakan perahu dayung menjadi 5–6 jam saja. Kini, kurang lebih 1 dari 3 keluarga di Kampung Samurukie memiliki akses terhadap kendaraan air berbahan bakar fosil. Berbagai industri dan kegiatan ekonomi berkembang secara pesat dengan terbukanya akses perhubungan. Dengan infrastruktur perhubungan yang sangat tergantung pada perhubungan berbasis kendaraan berbahan bakar minyak, rasanya tak berlebihan bahwa kelumpuhan ekonomi masyarakat Kabupaten Mappi adalah ancaman yang sangat nyata.
Ketakutan ini saya perbincangkan dengan beberapa warga di kampung, dan benar saja. Kota Senggo mengalami krisis bahan bakar minyak, tidak sampai 5 hari setelah penetapan harga baru. Di kota Kepi sendiri, stok Pertalite benar-benar kosong, mulai dari SPBU, APMS, hingga eceran. Jalur logistik dari Merauke juga kini tersendat, dan kini diprioritaskan untuk mengantarkan sembako demi menjaga kestabilan harga. Saya sendiri sebenarnya tidak cukup khawatir dengan daya beli dari mayoritas masyarakat Mappi, yang (terpaksa) terbiasa dengan lentingan harga bahan pokok bahkan hingga 20%, imbas daya dukung alam yang masih baik. Namun permasalahan kelangkaan (scarcity) yang berkepanjangan dapat menjadi malapetaka baru. Apabila kondisi ini tidak membaik dalam satu bulan ke depan, saya ragu apakah saya dapat pulang kembali ke kampung halaman di Pulau Jawa dengan selamat.
Ironisnya, saya di sini bertugas sebagai seorang Patriot Energi di bawah Kementerian ESDM, yang bertanggung jawab atas gonjang-ganjing harga BBM ini. Program yang selalu menggaungkan energi baru dan terbarukan (EBT) ini harus mendapatkan tamparan nyata, bahwa ketika berbicara energi di daerah dengan akses terbatas, bahan bakar fosil masih menjadi penggerak penting untuk kebutuhan ekonomi masyarakat. Jangkauan dampak energi terbarukan saat ini masih terbatas pada sektor kelistrikan, yang masih memegang peranan minor dalam kehidupan masyarakat Mappi kebanyakan.
Nyatanya, secara sadar maupun tidak sadar, kita sepakat bahwa penarikan subsidi BBM adalah hal yang tidak terelakan lagi. Dengan seluruh dunia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon untuk menekan laju peningkatan suhu bumi di bawah 2o, negara tak bisa terus-menerus menyuntikkan subsidi BBM dari anggaran kita. Melalui energy transition mechanism, Indonesia mentargetkan pada tahap pertama, penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha sendiri, dan 41% dengan bantuan internasional pada 2030 [4]. Dalam tahap pertama tersebut, diprediksi bahwa emisi karbon masih akan naik dari 494 MtCO2e pada tahun 2018 menjadi 562 MtCO2e per tahun, namun terdapat target penurunan emisi dari sektor transportasi dan industri. Rata-rata anggaran Indonesia untuk transisi energi ini diterjemahkan menjadi Rp 89,6 triliun per tahun, hanya lebih dari setengah anggaran untuk subsidi BBM pada tahun 2022 ini. Pemikiran pragmatis kita pun bisa melihat realitas di atas kertas mengenai kesanggupan negara ini untuk terus mensubsidi BBM.
Isu kenaikan BBM ini secara nasional coba dimitigasi ke arah kendaraan dan mobilitas listrik, serta adopsi bahan bakar ramah lingkungan seperti biofuel dan hidrogen. Hal ini coba didorong dengan menciptakan ekosistem kendaraan listrik, mulai dari infrastruktur pengisian daya, insentif untuk kendataan listrik, hingga membangun industri hulu dan merapihkan rantai pasok untuk mendukung elektrifikasi sistem transportasi [5]. Sayangnya, mengadopsi elektrifikasi kendaraan listrik di sekitar daerah Kabupaten Mappi ini nampaknya masih menjadi angan-angan yang jauh. Menilik kondisi elektrifikasi saat ini, terdapat 5.200 unit pembangkit diesel di 2.130 lokasi yang akan dilakukan konversi menuju EBT [6]. Dengan kapasitas PV + BESS yang tersebar di bagian timur Indonesia dicanangkan mencapai 874,1 MW, kebutuhan anggaran dedieselisasi ini mencapai Rp 100 miliar [7]. Proses ini dilakukan dalam tiga tahap dan selesai pada tahun 2026, namun berdasarkan RUPTL 2021–2030, tidak ada Kabupaten Mappi yang mengoperasikan dalam rencana tersebut — yang mayoritas bergantung pada PLTD di jantung-jantung aktivitas masyarakatnya (Kepi, Senggo, Asgon, dan Mur). Infrastruktur transportasi publik yang buruk, serta kondisi elektrifikasi yang belum merata menjadi kesenjangan yang nyata untuk menciptakan masyarakat yang lenting terhadap penyesuaian harga BBM untuk saat ini.
Melakukan penarikan subsidi BBM berarti menyerahkan harga kebutuhan dasar dan strategis kepada mekanisme pasar. Demi melindungi hajat masyarakat banyak, hal ini tidak bisa dibiarkan, sebagaimana tercantum pada Pasal 72 PP Nomor 30 tahun 2009. Ekonom Fasial Basri menyatakan bahwa mengembalikan aturan penetapan harga BBM sesuai dengan formula sebagaimana di atur oleh Perpres Nomor 191 tahun 2014 adalah salah satu langkah yang dapat diambil untuk meningkatkan ketahanan energi nasional [8]. Hal ini dilakukan dengan menyediakan dana stabilisasi, menyesuaikan harga BBM proporsional terhadap data up-to-date, serta penargetan subsidi yang mendorong kepada pola konsumsi BBM yang semakin bijak. Tantangan terbesar dari pengamanan suplai BBM di daerah seperti Mappi ini adalah adanya praktik perburuan rente serta mafia penimbun cadangan BBM, yang kerap kali melibatkan oknum berwajib dalam memuluskan tindakan ini. Tanpa pembenahan birokrasi dan penegakan hukum yang baik, akan sulit menjaga ketersediaan dan kestabilan harga BBM.
Perubahan iklim bukan lagi menjadi sebuah mitos, namun merupakan sebuah ancaman yang nyata bagi seluruh masyarakat dunia. Sayangnya, dampak terparah akan dirasakan oleh masyarakat marjinal, terutama masyarakat adat yang kehidupannya sangat tergantung pada kondisi alam. Mengurangi dampak perubahan lingkungan adalah langkah tak terbantahkan untuk mempertahankan eksitensi masyarakat adat, dan merupakan tanggung jawab negara untuk memastikan kelangsungan hidup seluruh warganya. Sudah sepatutnya negara mengambil langkah konkrit untuk melakukan transisi menuju energi hijau. Penarikan BBM adalah sebuah keniscayaan (necessity), ibarat menarik sebuah plester yang menempel di kulit. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana negara bertanggung jawab dalam menyediakan jaringan pengaman dan melindungi kelompok masyarakat yang rentan terhadap fluktuasi harga BBM ini.
Pemerintah saat ini dengan cepat menyediakan jaringan pengaman dengan menyediakan bantuan sosial langsung tunai untuk menangkal kenaikan harga BBM bagi masyarakat rentan. Bantuan langsung tunai (BLT) BBM dengan nominal Rp 600 ribu akan dibagikan kepada 20,65 juta masyarakat, dari dana yang berasal dari pengalihan subsidi BBM dalam kas keuangan negara sebesar Rp 12,4 triliun [9]. Menurut Dinas Sosial, Kependudukan, dan Catatan Sipil (Dinsosdukcapil) Provinsi Papua, rencana penerimaan BLT ini adalah dari bulan September hingga Desember 2022, dan dilakukan dalam dua tahap melalui kantor pos [10]. Data penerima Bansos sendiri sudah terdaftar pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial, dan mendapatkan bantuan verifikasi dari pemerintah pendamping setempat.
Sebagai orang yang melihat secara langsung bagaimana pembagian BLT di kampung-kampung pedalaman Papua, rasanya bukan keputusan yang tepat untuk melakukan kebijakan cash transfer semacam ini. Data penerima yang tidak valid dan terbarui, pencairan yang terlambat dengan mekanisme yang sulit dipahami masyarakat setempat, rentan memicu konflik horizontal, serta para pejabat otonom di daerah-daerah yang kerap memakan hak warganya sendiri. Tak jarang saya melihat warga yang ‘baku tengkar’ karena permasalahan BLT ini. Gejala ini lebih kentara dengan kondisi Kampung Samurukie yang tidak memiliki Kepala Kampung definitif, hanya pelaksana tugas (PLT) saja. Padahal, anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD) mencapi Rp 1,6 miliar per tahunnya. Toh sampai pada hari ini, dampak pembangunannya tak begitu terasa. Penggunaannya pun hanya sekedar untuk membeli kebutuhan sesaat saja, dan untuk beberapa kasus yang lebih parah, digunakan untuk berjudi, mabuk-mabukan, atau bermain perempuan. Dari yang awalnya saya bersemangat untuk mengawal penggunaan dana ini, menjadi resisten dan malas apabila ada pembagian BLT di kampung karena sering menimbulkan keributan.
Beberapa pengamat kebijakan publik menganggap langkah pembagian BLT ini adalah langkah pemalas dan tidak tepat sasaran. Beberapa pihak lagi mengecap bahwa ini merupakan tindakan quick-win dan populis demi menjaga citra baik rezim yang telah gagal melindungi warganya dari kenaikan harga BBM. Kebijakan ini dinilai merupakan langkah menutupi kegagalan pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur yang memadai. Apalagi dengan kondisi SDM yang belum siap untuk mengelola penggunaan dana tersebut seringkali dinilai sebagai salah satu titik lemah kebijakan cash transfer seperti ini, baik conditional maupun undconditional. Jumlah ini pun juga dikritik kurang baik, dengan hanya Rp 5.000 rupiah per harinya, dianggap tidak menambah kemudahan ekonomi apapun bagi masyarakat kelas bawah [11].
Namun, beberapa berpendapat juga bahwa apabila menimbang dari aspek, strategi cash transfer ini mungkin langkah terbaik yang bisa dilakukan saat ini. Apabila memandang BLT sebagai jejaring pengaman sosial menanggapi kondisi yang masih volatile, sebuah studi menunjukan bahwa penerapan conditional cash transfer untuk kelompok-kelompok masyarakat marjinal meningkatkan beberapa aspek kehidupan, seperti: menurunnya angka stunting sebesar 23% dan putus sekolah dibawah 15 tahun [12]. Tentunya solusi seperti ini tidak bisa secara langsung mentransformasikan ekonomi masyarakat setempat, namun setidaknya sedikit cukup memberikan ruang gerak ekonomi bagi masyarakat dengan cashflow yang ketat. Belajar dari kebijakan BLT tahun 2005 dan 2008 untuk menanggulangi kenaikan harga BBM juga, beberapa pihak mengusulkan mekanisme pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan penggunaan tepat guna, didampingi dengan program strategis lainnya seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin), dan Infrastruktur Pedesaan [13].
Mesin Diesel 10 KVA di Kampung Samurukie
Gonjang-ganjing kebijakan selama beberapa minggu belakangan ini seyogyanya dapat kita jadikan sebuah ajang refleksi bersama, alih-alih saling menunjuk dan menyalahkan. Beberapa dari kita mengalami kenyamanan untuk terus mengkonsumsi BBM yang disubsidi di tengah krisis iklim yang terus mengancam. Bukan alasan yang salah juga apabila mendukung pemerintah untuk menarik subsidi BBM dengan dalih transformasi energi yang tak terelakan ini. Namun di sisi lain, bukan menjadi alasan bagi kita untuk menafikan hati nurani dan tidak berempati terhadap kelompok terdampak yang rentan terhadap gejolak kenaikan BBM ini.
Kesombongan mungkin juga menjadi tema refleksi saya kali ini juga. Kesombongan pemerintah dalam menyangkal kelalaiannya untuk menyediakan infrastruktur publik yang memadai pada akhirnya mengantarkan mereka untuk mengambil langkah taktis yang populis untuk meredam gejolak sosial. Melihat cuitan seorang Menteri pemilik konsorsium batu bara mengimbau kita untuk mengatur keuangan dengan baik atau mengadopsi kendaraan listrik dengan harga 2 kali mobil biasa, rasanya cukup membuat saya naik pitam. Saya melihat sendiri bagaimana kenyamanan dan privilese ekonomi sesorang telah membutakan mata hatinya untuk tidak ikut menginjak rumput dan bersimpati terhadap kelompok yang terdampak.
Namun di sisi lain, ada baiknya bagi saya (dan beberapa teman Patriot Energi yang membaca tulisan ini) untuk memeriksa diri dan berefleksi, apakah saya memiliki kesombongan yang sama. Kita dengan mudah mengomentari masyarakat kampung yang tidak mampu mengelola keuangannya sendiri, dan membawa perspektif pembangunan urban yang menurut kita lebih ‘unggul’. Jika kita ikut campur dan mengintervensi bagaimana masyarakat berdinamika dengan berhala bernama Rupiah ini, lalu apa bedanya kita dengan seorang elitis pembangunan? Mungkin segala keributan dan pertikaian horizontal yang terjadi merupakan langkah sebuah kelompok masyarakat untuk memahami dinamika kelompoknya sendiri, dan menata ulang struktur sosialnya. Memangnya siapa kita, sehingga menjadi yang paling tahu mengenai apa yang mereka butuhkan? Kita terlalu sibuk memberikan pancing dan mengajari mereka cara memancing ikan. Namun mungkin di tengah kelaparannya, mereka hanya butuh makan ikan; dan kita terlalu kenyang untuk melihat hal itu.
Referensi:
[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20220903134519-4-369031/jokowi-lebih-dari-70-subsidi-bbm-dinikmati-yang-mampu
[2] https://money.kompas.com/read/2022/09/06/120000326/harga-minyak-mentah-dunia-terus-melambung-apa-dampaknya-?page=all, diunduh 11 September 2022 pk. 20.18 WIT
[3] https://www.cnbcindonesia.com/news/20220831133524-4-368103/hati-hati-ada-yang-terancam-lumpuh-kalau-harga-bbm-naik, diunduh 11 September 2022 pk. 20.38 WIT
[4] https://fiskal.kemenkeu.go.id/baca/2022/03/17/4340-energy-transition-mechanism-untuk-transisi-energi-bersih-di-indonesia, diunduh 11 September 2022 pk. 20.57 WIT
[5] IESR (2021). Indonesia Energy Transition Outlook 2022. Tracking Progress of Energy Transition in Indonesia : Aiming for Net-Zero Emissions by 2050. Jakarta: Institute for Essential Services Reform (IESR).
[6] RUPTL PLN 2021–2030
[7] https://ekonomi.bisnis.com/read/20201102/44/1312487/bagaimana-ceritanya-konversi-200-pltd-pln-perlu-dana-rp100-triliun, diunduh 13 September 2022 pk. 12.19 WIT
[8] https://faisalbasri.com/2022/08/28/kebijakan-subsidi-bbm-menegakkan-disiplin-anggaran/ , diunduh 13 September 2022 pk. 13.33 WIT
[9] https://www.cnbcindonesia.com/news/20220914074820-4-371871/blt-bbm-sudah-cair-cek-namamu-di-cekbansoskemensosgoid, diunduh 15 September 2022 pk. 10.28 WIT
[10] https://papua.antaranews.com/berita/690489/dinsosdukcapil-papua-pemerintah-tidak-buka-pendaftaran-penerima-blt-bbm, diunduh 15 September 2022 pk. 10.32 WIT
[11] https://politik.rmol.id/read/2022/09/14/547386/kritik-blt-rr-bagaimana-bisa-rp-5-ribu-perak-sehari-bisa-entaskan-kemiskinan, diunduh 15 September 2022 pk. 11.04 WIT
[12] Cahyadi, Nur, Rema Hanna, Benjamin A. Olken, Rizal Adi Prima, Elan Satriawan, and Ekki Syamsulhakim. 2020. “Cumulative Impacts of Conditional Cash Transfer Programs: Experimental Evidence from Indonesia.” American Economic Journal: Economic Policy, 12 (4): 88–110.
[13] Chris Beaton and Lucky Lontoh. 2010. “Lessons Learned from Indonesia’s Attempts to Reform Fossil-Fuel Subsidies.” International Institute for Sustainable Development (IISD)