Pernahkah sebelumnya kalian mendengar sebuah kabupaten bernama Mappi? Mungkin, 90% dari kalian yang membaca tulisan ini termasuk saya pribadi tak pernah terbayangkan kalau di Provinsi Papua bagian Selatan telah berdiri 19 tahun lamanya Kabupaten Mappi tersebut. Dahulu, Mappi masih menjadi bagian dari Kabupaten Merauke sebelum Ia berdikari membentuk Kabupaten sendiri sejak 2003 silam. Kabupaten Mappi ini unik sekali teman-teman, bagaimana tidak, disini daratan yang tanahnya “keras” tidak lebih banyak di banding daratan yang basah oleh rawa-rawa. Praktis, aktivitas sehari-hari masyarakat asli disini lebih banyak berada diatas air/rawa, baik untuk bepergian maupun mencari kebutuhan makan sehari-hari.
Dalam kesempatan ini, izinkan saya untuk menceritakan aktivitas harian masyarakat Suku Auyu yang menghuni daratan pinggiran Kali Wildeman, khususnya sebuah kampung bernama Kampung Menya disebuah distrik bernama Passue. Seperti kebanyakan Suku di Mappi pada umumnya, masyarakat Menya juga sehari-hari sangat menggantungkan hidupnya dengan alam. Air rawa yang berlimpah, sagu tumbuh subur dimana-mana, Ikan, Babi, bahkan Gaharu menjadi penopang hidup mereka. Saat awal-awal memasuki kampung untuk live in, saya dibuat heran karena kondisi kampung yang sangat sepi disebabkan warganya meninggalkan kampung untuk kegiatan berhutan.
Berdasarkan hal tersebut, saya pribadi dibuat penasaran, kenapa sih orang-orang pedalaman begitu betah berhari-hari bahkan ada yang berbulan-bulan tinggal dalam hutan, mengingat berada di hutan bukan tanpa resiko, karena di Hutan Mappi ini ada penghuni mematikan bernama Black Papua, yakni sejenis ular berwarna hitam yang racunnya salah satu racun ular mematikan di dunia. Tetapi, ancaman tersebut tak membuat mereka takut, walaupun warga mereka pernah ada yang menjadi korban keganasan Black Papua.
Kamis, 18 Agustus lalu saya memutuskan untuk ikut ke hutan sekaligus merasakan pertama kalinya bermalam disebuah Bevak milik warga yang lokasinya tidak jauh dari lokasi mereka mencari kayu gaharu. Jika sebelumnya saya ke hutan pagi hari, lalu sorenya kembali pulang ke kampung, saat itu saya berkesempatan untuk menginap. Di hutan saya bersama keluarga Mama Susana yang juga menjadi tetangga depan rumah saya di kampung. Mama Susana berkata, sejak 5 tahun terakhir Ia lebih banyak tinggal di hutan dibanding di kampung karena harus menjaga dan memberi makan Babi-babi peliharaannya. Ia ke kampung hanya untuk keperluan Ibadah, selepas itu ia kembali masuk hutan.
Di hutan ini saya belajar bagaimana masyarakat Papua bertahan hidup dengan apa yang sudah disediakan oleh alam. Rasanya saya dibuat flash back kembali mengingat kegiatan Survival 6 hari masa pelatihan di IBEKA lalu bersama Tim Wanadri. Makan dan minum langsung dari alam. Ketika saya bermalam, Mama Susana telah selesai memangkur sagu sehingga saya tidak jadi melihat kegiatan beliau memangkur. Ah, padahal melihat kegiatan pangkur sagu itu menjadi salah satu tujuan saya, ucapku dalam hati. Karena mungkin saja itu adalah kegiatan pangkur sagu yang terakhir yang bisa saya saksikan langsung, karena saat memasuki pertengahan Oktober nanti, saya dan rekan-rekan patriot lain akan meninggalkan kampung live in masing-masing.
Saya dan Mama Susana sekeluarga tiba di Bevak tepat Pukul 12.30 WIT. Kami pun beristirahat sebentar selama kurang lebih 20 menit lalu segera membuat api dan membakar sagu yang telah disiapkan untuk santap makan siang. Makan siang hari itu cukup dengan sagu kosong tanpa lauk lain tetapi telah diberi campuran kelapa agar rasanya lebih nikmat. Selembar sagu bakar nampaknya telah membuat perut saya terisi penuh. Memang, makan sagu lebih mengenyangkan dibanding nasi, itulah yang saya rasakan setelah berbulan-bulan hidup bersama masyarakat Menya. Setelah kenyang makan sagu, saya meminta izin kepada Mama untuk tidur siang, karena jujur saja saat itu saya merasakan ngantuk dan lumayan capek setelah jalan kaki 2 jam dari kampung untuk sampai ke bevak. Kepada mama saya meminta untuk dibangunkan jika telah memasuki waktu sore.
Ketika sore tiba, saya ternyata bisa terbangun sendiri, lalu melihat Mama Susana beserta cucu-cucunya bersiap untuk memancing di rawa. Melihat hal itu saya pun berkata untuk ikut. Wah, asik sekali di waktu sore yang super teduh itu untuk memancing. Rencananya, ikan yang didapat digunakan untuk santapan makan malam. Bersyukur, alam berpihak pada kami saat itu, kami berhasil mendapatkan 8 ikan Gastor dan 3 Betik, jumlah yang lebih dari cukup untuk makan malam kami. Kemudian kami sampai dipenghujung hari karena matahari perlahan akan “tenggelam”, kami memutuskan untuk kembali ke Bevak karena Mama juga akan memberi makan Babi-babinya.
Di malam harinya, dengan berbekal penerangan pelita dan juga lampu kamera hp saya, kami gunakan untuk ngobrol sambil menyantap makan malam, berbincang-bincang soal apapun. Merasakan kondisi seperti ini rasanya damai sekali. Bulan September nanti rencananya saya akan kembali melakukan kegiatan seperti ini lagi.
Hari pun kami tutup dengan tidur bersama, tidak lupa sebelum itu membakar anti nyamuk lalu menaruhnya di setiap sudut bevak. Bersama Mama sekeluarga saya mengucapkan banyak terimakasih untuk pengalaman berharga ini. Kelak, saat kepulangan nanti saya akan bagikan cerita menarik ini kepada kerabat-kerabat di Sulawesi. InsyaAllah.
Terimakasih telah berkenan membaca cerita ini,
Salam, Laode.