Hallo aku Bulan, kisah kali ini aku tulis dengan rasa haru karena perjalanan pertama mengintari sungai papua menjadi moment yang sangat luar biasa bagiku. bertemu dengan orang-orang baru di dataran sungai Papua menjadi sangat mengasyikan. Cuaca kali ini mendung, langit tertutup awan hitam pertanda akan turunya hujan. Perjalanan menyusuri sungai, berangkat dari perlabuhan Maf Mappi, Papua. Aku dan kawanku berniat untuk pergi ke salah satu kampung yang ada di Distrik Passue dan Passue bawah Kabupaten Mappi, Papua. Perjalanan pertama menggunakan transportasi air speedboat memang mengasikan. Di tepi sungai berjajar pohon mangrove, sesekali tampak burung bertebangan mengintari arus sungai. Kampung yang akan kami datangi masih jauh, belum tampak hilal sedikitpun. Untuk melewati kampung pertama, kami harus melewati teburawa. “Ahh” gumamku, mendengar katanya saja sudah malas, banyak sekali cerita horror yang seliweran ku dengar tentang teburawa, salah satunya cerita tentang tenggelamnya seorang anak kecil di teburawa dengan kondisi mati ditempat, juga cerita tentang lalat babi, dan nyamuk malaria yang banyak sekali disana. Hal ini membuat kami semakin rajin untuk mandi dan tidak boleh bergadang karena katanya malaria dan lalat babi aktif di pagi dan malam hari. orang-orang yang gemar bergadang rentan terkena nyamuk malaria, untungnya kami sudah siap alat tempur seperti obat nyamuk, obat malaria yang diminum setiap hari, sampai kami membawa kelabu haha memang ribet tapi untuk keselamatan yasudahlah.
Masih tentang teburawa yang menurutuku sangat menarik untuk dibahas, ternyata sudah banyak sekali usaha yang dilakukan pemerintah daerah untuk membersihkan teburawa ini, salah satunya dengan mememotong, mengikatnya namun tidak bertahan lama, teburawa semakin lebat dan menutupi akses jalan sehingga menyulitkan untuk dilewati. Teburawa yang tebal, mengharuskan kita mendorong speedboat sekuat tenaga karena air semakin surut tertutupi gundukan teburawa. Sesekali kakiku terperosok kedalamnya dan sulit terangkat kembali lantaran terikat akar-akar berukuran besar. Badanku sepauh tenggelam, fikiranku langsung terkoneksi dengan cepat dengan cerita horror yang aku dengar sebelumnya, tentang seorang anak kecil yang mati tenggelam disini. aku yang terbiasan berenang di sungai waktu kecil mendadak hilang kemampuan renangku, kaki ku menjadi kaku dan sulit untuk digerakan “ah mampuslah aku” gumamku. aku dikelilingi daun-daun hijau yang tajam seperti pisau yang perlahan menyayat lapisan kulit kaki dan tanganku, lalat yang berterbangan, sesekali masuk ketengorokan dan itu membuatku semakin muak dengan teburawa. Namun ada hal yang ternyata mengasikan juga, walaupun kondisi air yang bau dan penuh lalat, banyak kejadian lucu yang membuatku semakin rindu dengan masa itu. Bersyukur bisa datang ke Papua dan merasakan sulitnya melewati teburawa. Walaupun sebelumnya dengan pedenya aku berkata “tenang bisa berenang ko, ga perlu perlambung “ ternyata disana mendadak hilang kemampuan berenangku haha. Untungnya sebelum berangkat dari pelabuhan Maff aku dan kawanku di bekali pelampung oleh pak Carlos untuk kami pakai selama di perjalanan. Perjalanan ke kampung pertama “Hoya” memakan waktu yang cukup lama, lebih dari 7 jam kami dalam speedboat. Cuaca yang awalnya mendung tiba-tiba panas menyengat kulit dan rasa seperti terbakar. Setibanya dikampung pertama, kami lalu mencari kepala kampung atau ketua adat untuk kami ajak berdiskusi mengenai kondisi kampung. Etah kenapa selalu cerita horror yang terdengar sliweran dikupingku. menurut masyarakat, dulu di sini ada anak kecil yang tenggelam dan meninggal di dermaga pelabuhan, lokasi yang diceritakan tepat dimana kami menyimpan speed disana. Suasana semakin horror lantaran rencana sebelumnya kami tidak akan bermalam dikampung ini, namun langit semakin gelap dan kondisi stamina yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan malam hari kami putuskan untuk menginap. Dan merencanakan perjalanan esok hari ke kampu kedua “Haku”. Kembali lagi dengan teburawa dan hal yang mengasikan disana. Cerita ini ku cukup sampai disini. Semoga selalu ada rindu untuk membaca kembali kelanjutan ceritanya karena ada hal yang menarik dan horror pada saat kami ikut bermalam dikampung ini. Salam lestari, untuk negeri terang berseri !