Sore ini aku duduk di depan kios sebelah Kantor Polsek Ayamaru Utara.
Kios ini menjual berbagai barang. Dari makanan ringan sampai produk teknologi terkini seperti true wireless speaker (TWS). Pintu kiosnya tidak dibuka seluruhnya. Kalau diingat lagi, di tempat lain di kampung lain juga tidak membuka penuh pintu kiosnya. Sepertinya sudah jadi kebiasaan bersama di kota ini untuk tidak membuka lebar pintu kios.
Sebutan kios juga lebih familiar di sini, dibandingkan dengan sebutan lain seperti warung atau toko. Mau besar atau kecil bentuknya, mau cuma menjual biskuit dan gula atau yang menjual palugada (apa lu mau gua ada), namanya tetap kios. Kalau soal ini, aku tidak tahu kenapa.
Seragam merah putih dipajang di depan pintu kios dengan dibungkus plastik?—?mungkin agar tidak kotor. Ember-ember plastik bermacam ukuran tak tertinggal dipajang. Dua buah kursi kayu panjang turut menambah properti yang bertengger di depan kios.
Sore ini tidak hujan. Sinar matahari menghujam tepat di muka. Kuning cahayanya menerpa siapa saja yang melintas. Sedikit hangat dan menyilaukan.
Sementara itu, orang-orang silih berganti mengunjungi kios untuk mengambil barang dan ditukarnya dengan sejumlah uang. Tidak semua orang begitu. Ada pula yang hanya berdiri sambil melihat rekannya rela menukar uang demi mendapatkan barang tertentu. Ada pula yang merengek sambil menunjuk sesuatu yang beberapa saat kemudian sesuatu yang ditunjuknya itu sudah berada dalam genggamannya. Yang begitu, pelakunya adalah anak-anak.
Angin juga tak mau ketinggalan menunjukkan eksistensinya. Ia merambat pelan di atas kulit coklatku yang tak bisa dilihatnya. Meniup lembut rambut keritingku.
Sedangkan jalan aspal di depan lengang. Hanya satu-dua kendaraan yang melintas. Benar-benar satu-dua. Dari pada kendaraan, mungkin lebih banyak gagasan-gagasan yang melintas.
Sisi sebelah kanan kios adalah lahan bersemak. Seberang kios ada hutan tropis khas Maybrat. Tak ada gedung-gedung lain, tak ada fasilitas lain juga. Dalam beberapa saat membuatku berpikir: mungkin seperti ini kehidupan jawa puluhan-ratusan tahun lalu.
Suasana seperti ini menimbulkan rasa sepi. Tapi ini sepi yang menyenangkan. Membuatku tidak perlu susah payah berebut oksigen. Juga tak membuat tegang telingaku. Menuntun pada rasa yang jarang dirasakan: tenang.
Bedanya, jawa zaman dulu tentu belum ada internet dan kendaraan cepat seperti yang kita dapati sekarang. Mungkin hanya pedati bermuatan hasil bumi dengan kerbau berlonceng yang melewati jalanan. Atau mungkin delman dengan Ibu Sud yang duduk di muka yang kebetulan sedang menikmati masa liburan. Itupun kemungkinan besar jalan belum diaspal seperti jalan depan kios ini. Meski begitu, jika dibayangkan dan kalau boleh disamakan, keduanya memberi perasaan yang sama. Hening dan tenang. Sepi yang menyenangkan.
Barangkali, seperti inilah kehidupan yang dulu kakek-nenek ceritakan. Boleh jadi, beginilah latar dongeng yang sering bapak-ibu perdengarkan. Aku bersyukur ternyata aku berkesempatan merasakan langsung suasana yang menyenangkan ini. Tapi, jika direnungi lagi, ini berarti aku hidup di dua zaman yang berbeda dalam waktu yang sama. Menginjak bersamaan dua zaman. Dengan kata lain: kok bisa? Kok ada dua kemajuan peradaban yang berbeda pada negara dan waktu yang sama? Berarti, ada sesuatu yang tak setara? Atau jangan-jangan memang bukan hal yang bisa dibanding-setarakan?