Siang itu ibu Sekretaris Desa Toli – Toli sedang memasak untuk makan siang sambil berteriak memarahi anak perempuannya yang suka bermain – main di kolong rumah.
“Inna… naik ko, kapatuli sekali anak ini eh. Sudah dibilang jangan main – main dibawah kolong rumah orang, kena tai tau rasa ko”
Sudah menjadi hal wajar bagi anak – anak di desa bermain – main dibawah kolong rumah. Sepertinya mereka memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa atau mungkin mereka telah beradaptasi? Air laut yang biasa mereka buat bermain - main telah “baku campur” dengan limbah rumah tangga. Warga akan membuang limbah baik limbah sisa makan, limbah MCK bahkan limbah plastik ke laut. Setelah itu, ikan yang hidup di bawah kolong rumah memakan limbah tersebut. Saat tidak ada simpanan ikan warga tak jarang memancing ikan yang ada di sekitar rumah mereka dan menghidangkannya di meja makan. Siklus rantai makanan yang cukup epic.
“Aisyee makannn…” terikan Ibu Sekdes mungkin bisa mengalahkan suara adzan dhuhur
“Ikan apa ini ibu?” Hal yang selalu aku tanyakan untuk menambah keakraban
“Yang ini ikan rumah – rumah, kalo yang kecil – kecil ini ikan lore” sambil mencari – cari padanan kata dalam Bahasa Indonesia.
“Owh Dusun Lore dinamai gara – gara ikan ini ibu?” tanyaku cukup penasaran
“Tau mi” sambil mengangguk
Nah satu dari beberapa banyak hal yang aku bingungkan ialah kebiasaan warga menambahkan imbuhan disetiap akhir kalimat, untuk mengungkapkan ketidaktahuan mereka akan mengangguk sambil menunjukkan wajah yang cemas atau penasaran. Kata “tidak” juga tidak digunakan untuk pemberitahuan apabila mereka tidak tahu. Saat awal – awal aku selalu bingung “orang ini tau apa enggak ya”. Namun lama – lama aku mengikuti kebiasaan mereka.
*
Setelah makan aku pergi ke Pelabuhan untuk menunggu penjemput yang biasa menjemput anak sekolah kembali ke Dusun Lore.
“Tadi mandi gak waktu berangkat ke sekolah?” tanyaku kepada beberapa anak yang sedang duduk – duduk di bangku panjang Pelabuhan
“Cuci muka saja” jawab mereka serentak
Setiap menunggu bersama pasti ada saja yang “baku pukul” dan salah satunya pasti ada yang menangis, baik anak laki – laki maupun perempuan sama saja. Namun tidak lama mereka akan bermain – main bersama kembali
Penjemput datang, fiber yang sangat kecil yang tak jarang sering mati mesin di tengah laut. Tidak ada rasa panik atau takut saat terjadi hal tersebut. Anak – anak sudah duduk rapi menempati tempat yang kosong. Tak jarang diatas kapal yang kecil itu mereka bermain bersama sambil menikmati naik turunnya kapal akibat gelombang.
Selama di Lore aku tinggal bersama keluarga Bapak Herman, Salah satu pengepul gurita yang cukup dipandang di dusun. Rata – rata rumah warga di Dusun Lore berada di atas laut bermodelkan rumah panggung yang terbuat dari kayu. Saat di terjang ombak rumah akan bergoyang. Warga tidak memiliki kamar mandi di setiap rumahnya. Jadi apabila ingin buang air kecil dilakukan di dapur dan untuk buang air besar dilakukan dengan menuju sekitar pohon mangrove. Apabila ingin mandi, sejauh mata memandang banyak air katanya. Air laut.
“Amira, kamu kalo “berak” gimana?” tanya kepada anak sulung Bapak Herman
“Pergi ke mangrove” jawabnya sambil tersenyum
“Terus kalo “cebok” gimana?” tanyaku cukup penasaran
“Kan pergi kita, pakai sarung, habis itu bersihin pakai air laut. Tapi kadang – kadang terasa perih, jadi aku bilas pake air galon kalo sudah sampai rumah” penjelasan yang cukup detail
“Owh gitu” sambil mengangguk
Banyak hal – hal yang membuatku berdecak kagum melihat kondisi mereka. Namun hal paling cukup membuatku terkesan ialah mereka mampu bertahan hidup ditengah kondisi yang jauh dari kata layak menurut ukuran orang kota.
*
Hari itu cuaca sangat panas sekali, rasanya matahari benar – benar berada di atas kepala. Apakah rasanya neraka seperti ini? Karena tidak kuat dengan panasnya di dalam rumah Bapak Herman, aku memutuskan pergi kerumah Nenek, Mertua Bapak Herman.
Segera aku menuju dapur yang menghadap ke laut dengan kondisi terbuka. Angin laut yang kencang membuat ombak menghantam tiang – tiang penyangga rumah yang membuatku merasa diayun. Disana sudah ada beberapa ibu – ibu yang sedang mencari kutu sambil berbincang menggunakan Bahasa Bajo. Dari sana juga terlihat anak – anak berenang di laut untuk mendinginkan badan katanya.
Kubaringkan badanku diatas lantai yang terbuat dari bambu yang apabila kita melihat dibawahnya akan terlihat ikan – ikan kecil berenang di bawah kolong rumah karena jernihnya air.
“Nek, kenapa bisa banyak kutunya? Kalo keramas gak pakai shampo?” tanyaku
“Karena mandi di laut, nanti kalo kita sering cari nanti habis juga” jelas nenek dengan menggunakan logat orang bajo pada umumnya.
“Oh gitu… Kalau itu apa yang dijemur?” tanyaku lagi karena melihat seperti tepung berwarna putih yang sudah pudar dan disamping berserakan botol kaca dalam jumlah banyak
“Itu buat bikin bom” jelasnya
“Bom ikan? itu karangnya gak mati nanti?” tanyaku cukup mendesak
“Kalau gak pakai itu, hasil tangkapan ikan sedikit” jelasnya
Aku sering bingung merespon kebiasan – kebiasan warga yang menyimpang ini. Aku juga tidak pandai untuk memberikan wejangan – wejangan kepada warga tentang kebiasan – kebiasan mereka. Selama disini aku hanya menjadi seorang pengamat dan tukang tanya apabila ada hal yang tidak biasa aku lihat.
Tak terasa aku tertidur karena hembusan angin laut yang seperti sedang menidurkanku. Sepertinya aku sudah mulai bisa untuk tidur dimanapun dengan kondisi yang beragam.
*
Sore itu aku duduk di warung milik salah satu warga sambil meminum minuman dalam kemasan. Karena lingkup dusun yang kecil dan terpusat cukup mudah mengenali warga disini. Apalagi tampilan dan perawakan warga disini cukup menarik bagiku. Disaat yang sama Pak Justang juga singgah di warung untuk membeli rokok sambil membawa hasil tangkapan berupa gurita yang akan ditimbangkan. Memiliki tubuh hitam legam, rambut yang berantakan dengan warna kuning hampir terlihat pirang yang dikuncir menggunakan karet gelang, tulang – tulang muka yang cukup menonjol. Sepertinya umurnya masih berkisaran di antara 30 – 40 tahun. Atlet Takraw kebanggaan Kab. Bombana. Orang – Orang menyebut Pak Justang dengan sebutan “Raja minum”. Tak jarang Pak Justang menyuruh anaknya yang masih kelas 6 SD untuk membeli minuman keras di Pusat Desa saat pulang dari sekolah sambil menunggu jemputan kapal. Dua botol air minum kemasan berukuran 1,5 L menjadi wadah arak.
“Dari melaut bapak?” tanyaku
“Iya” jawabnya sambil menyalakan korek api
“Banyak hasil tangkapan hari ini bapak? tanyaku lagi
“Lumayanlah” jawabnya singkat
“Sehari bisa dapat berapa bapak?” tanyaku penasaran
“Delapan puluh sampai seratus” jawabnya sambil menghisap rokok
“Wah banyak juga ya bapak” cukup takjub
Mayoritas pekerjaan utama warga di Dusun ini ialah menjadi penombak gurita. Namun ada beberapa yang melakukan budidaya rumput laut. Satu hal yang aku pelajari dari mereka ialah menjadi orang yang pekerja keras. Mereka betah berlama – lama di laut untuk mencari ikan. Pantang pulang sebelum mendapatkan hasil tangkapan yang diinginkan. Dan itu banyak diakui oleh warga di pusat desa bahwa orang – orang di Dusun Lore adalah tipe pekerja keras. Dibandingkan warga di pusat desa warga di Dusun Lore ini memiliki penghasilan yang cukup tinggi. Namun karena sifat “rendah hati” aku menyebutnya. Mereka terlihat seperti orang yang kekurangan.
*
Hidangan malam ini berupa kakap merah yang dimasak kuah kuning. Kami makan bersama di dapur sambil sesekali terdengar lolongan anjing dan babi hutan dari atas bukit. Serta suara genset umum yang suara mesinnya memekakkan gendang telinga. Setelah makan seperti biasa adalah waktunya belajar sambil bermain bersama anak – anak di depan rumah. Dengan bermodalkan kertas HVS dan spidol warna – warni, sudah membuat anak – anak senang. Rata – rata anak – anak akan menggambar kapal dengan berbagai bentuk, sesuai dengan kebiasaan yang mereka lihat sehari – hari. Sedangkan anak – anak yang sudah berada di kelas atas tak jarang meminta untuk diajarkan matematika dan Bahasa inggris. Selalu senang saat melihat anak – anak ini memiliki minat belajar yang cukup tinggi.
“Tahang, kalo sudah besar mau jadi apa?” tanyaku sambil membuatkan kapal mainan dari kertas
“Mau jadi kayak bapak, cari gurita” jawabnya
“Wih keren, Mamamu lagi bikin apa disana?” tanyaku
“Itu lagi main judi” jawabnya singkat
Awalnya aku mengira saat bapak – bapak dan ibu – ibu berkumpul bersama hanya sedang mengobrol biasa. Ternyata mereka setiap malam bermain kartu yang diselingi taruhan uang. Sambil menyusui anaknya yang masih balita, ibu – ibu tampak antusias memainkan permainan judi tersebut. Mungkin itu salah satu cara mereka menghilangkan kebosanan di Dusun yang jauh dari peradaban dan genset yang tidak kuat untuk digunakan menonton TV.
*
Sudah hampir 8 bulan aku tinggal bersama warga Dusun Lore. Ungkapan “Life by the ocean” benar - benar aku jalani. Hidup bergantung dengan laut.