"Betapa pun luasnya kegelapan, kita harus menyediakan cahaya sendiri." (Stanley Kubrick)
"Berikan cahaya, dan kegelapan akan hilang dengan sendirinya." (Desiderius Erasmus)
Tidak sedikit yang membenci kegelapan karena kegelapan seringkali menghambat aktivitas manusia.Gelap pertanda ketiadaan cahaya, dan cahayalah yang menyebabkan sebuah dimensi menjadi terang. Beruntung bagi mereka yang bisa menghindar dari kegelapan karena mereka dapat memilih antara gelap ataupun terang. Namun bagaimana dengan mereka yang tidak ada pilihan lain selain harus berdamai dengan kegelapan?
Ada sudut lain dari negeri ini belum merasakan nikmat cahaya dimalam hari. Bisa dibayangkan sendiri bagaimana rasanya hidup dizaman yang serba digital namun sekedar cahaya dimalam hari untuk penerangan didalam rumah saja belum ada. Kita yang sudah mendapatkan nikmatnya energi listrik dari PLN boleh mengingat lagi kapan terakhir berteriak-teriak kesal ketika listrik PLN padam yang mungkin karena sedang ada gangguan teknis atau pemeliharaan jaringan listrik. Meskipun padamnya sebentar saja, namun tidak mudah untuk bersabar dan terkadang bisa saja membuat kita berubah menjadi manusia yang emosi. Terus bagaimana dengan mereka yang telah 77 tahun Indonesia merdeka dan belum mendapatkan hak energi yang berkeadilan sebagai warga negara Indonesia? Sampai kapan dan harus sebesar apalagi stok sabar yang harus mereka persiapkan?
Menjadi saksi disebuah sudut di negeri ini, saya merasakan sendiri bahwa cahaya itu adalah sesuatu yang lebih dari penting. Pernah suatu ketika hendak makan malam, namun tidak ada makanan yang dapat dimakan. Ibu yang punya rumah menyuruh menggoreng telur. Akhirnya saya memutuskan menggoreng telur, namun betapa bukan hal yang mudah memasak tanpa cahaya, tak ada pilihan lain selain tetap melanjutkan memasak.
Mencoba berdamai dengan kegelapan, mengutip dari kata-kata “Betapa pun luasnya kegelapan, kita harus menyediakan cahaya sendiri”. Mungkin kutipan ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat yang sedang tidak mendapatkan akses energi listrik. Akhirnya dengan memanfaatkan cahaya senter ku lanjutkan memasak meskipun dengan cahaya seadanya.
Bagi yang tinggal di perkotaan mungkin kita dengan mudahnya berbicara tentang standar-standar pencahayaan yang telah ditetapkan, misalnya untuk dapur tingkat pencahayaan 250 lux, ruang tamu 120-150 lux, dan juga berbagai jenis lampu yang menghasilkan sorotan cahaya yang indah, namun tidak dengan masyarakat di desa terpencil yang masih dalam keadaan gelap gulita, bagi mereka mendapatkan akses energi listrik dasar adalah sebuah cita-cita.
Terserah mau selantang apa berteriak merdeka dan semeriah apa merayakan kemerdekaan, namun perlu diketahui bahwa masih ada yang sedang berjuang memperoleh akses akan energi yang berkeadilan, dan masih menjadikan cahaya itu sebuah cita-cita yang tetap harus diperjuangkan meskipun disaat yang bersamaan harus berdamai dengan Kegelapan.
*Tulisan ini ditulis dengan penuh emotional (Kota Kendari/08/08/2022)