Sebelum memulai menetap di desa, bingung + nervous + excited tercampur aduk. bukan karena tanggung jawab kerjaan, terlebih karena ancang kegiatan sambilan ini yang menjadi salah satu concern ku selama bertugas. Berguru pada teman-teman yang memiliki concern yang sama, belajar dari buku Sokola Rimba, kak Butet Manurung mengajarkan bahwa jika ingin bergerak di bidang pendidikan informal, hal pertama yang perlu dilakukan adalah pengamatan. dari sana nanti kita bisa mengonsepkan kira-kira pendidikan seperti apa yang dibutuhkan. Abi juga berpesan, "Eksekusi dulu aja ala. Mulai dari yang sederhana"
Kegiatan ini pun dimulai dengan modal beberapa permainan yang sudah timbul tenggelam di kepala. Anak-anak yang tadinya datang hanya hitungan jari, kini kian minggu kian banyak. Mereka datang, aku bersyukur. mereka senang, aku apalagi. Terharu saat semua dilancarkan. apa yang dibutuhkan
terpenuhi pelan-pelan, salah satunya masyarakat yang mendukung dan semangat seperti Devi yang menjabat sebagai sekretasi desa. Terasa betul
bahwa semesta mendukung niat ini.
Sedihnya, isu pendidikan di desa ini begitu banyak dan mengakar sampai kemana-mana. Mulai dari angka putus sekolah yang cukup tinggi (berimbas pada banyaknya kasus pernikahan usia anak), kemampuan calistung yang masih sangat kurang, masyarakat yang kurang memprioritaskan pendidikan, dan mash banyak lagi.
Tentu kita tidak bisa menyalahkan situasi in dari satu faktor saja. sebab kondisi akses, ekonomi, sekolah, dan sosial sedikit banyak menyumbang dalam hal ini. Karena itu, aku bersama Devi ingin seriuskan kegiatan ini di
desa. merancang konsep kegiatan secara partisipatif dan membentuk Rohpo Betuah. Bermimpi program ini bisa mendatangkan kebaikan bagi desa, seperti namanya. Dalam bahasa Arok-Arok (bahasa sehari-hari suku Dayak
Uddanum), rohpo berarti pondok, dan betuah artinya keberuntungan, rezeki. pastinya kami juga butuh bantuan teman-teman yang membaca tulisan ini. berharap bisa ikut dalam upaya kecil ini, demi anak-anak, alam, dan masa depan mereka :)