Sebagai tradisi tahunan; penuh menjalani ramadhan di rumah, sahur dan berbuka bersama setiap hari. Aku tidak membayangkan akan sendirian melewati ramadhan kali ini. Melewati rutinitas bulan puasa sebagai minoritas di desa.
Di sahur pertama, duduk memegang piring dengan besender ke dinding papan, aku terbayang situasi terbalik keluargaku di rumah; heboh dan ramai. Kali ini, tidak ada suara ibu maupun kakak-kakak membangunkanku yang masih tertidur pulas.
Sahur berikutnya, aku terbangun jam 4.09, lima menit sebelum subuh. Ketiduran. Bergegas menuju dapur, kutemukan periuk berisi nasi panas di atas tungku. Ah, Minak... Baik sekali memasakiku tengah malam supaya bisa makan nasi hangat untuk sahur hari ini.
Esoknya, alarm membangunkanku pukul tiga dini hari. Mengikuti jadwal harian yang disusun malam sebelumnya, aku bersiap menuju dapur; berencana mengukus nasi. Terdengar suara dari kamar Minak yang berada di dekat tangga yang aku turuni, "Ala, makan nasi panas itu ya. Minak juga sudah masakkan sayur, tapi agak asin kayaknya". Ya Allah, jika bukan karena kasih-Mu dalam diri Minak, tak mungkin beliau mau terbangun tengah malam menyiapkan sahur (lagi) buatku.
Memang, ramadhan kali ini tak kudengar sirine imsak dan azan. Namun, ada kedamaian yang begitu menenangkan mengalir di dalam diriku melihat betapa baiknya masyarakat desa ini memperlakukanku; anak-anak yang memanjat pohon kelapa untuk buka puasaku; yang juga sesekali mengirimkan takjil buatan ibunya; bagaimana Minak dengan baiknya membantu menyiapkan sahur dan buka puasaku. Sungguh Tuhan, ramadhan kali ini indah sekali.