Ternyata membosankan juga tidak melakukan apa-apa. Itu terlintas di benakku setelah menjalani live in selama kurang lebih satu minggu. Survei energi sudah ku lakukan sebagaimana yang dipersyaratkan di kontrak program ini. Akhirnya untuk mengisi kegabutan ini, aku memutuskan untuk datang ke sekolah dasar Tumbang Lapan. Hari pertama sampai di sana, sepertinya hidupku setelah ini tidak akan gabut lagi. Bagaimana tidak, sekolah dengan jumlah siswa 50 orang tersebut terdiri dari 6 kelas dan hanya memiliki 3 orang guru termasuk kepala sekolah.
Seorang guru sedang mengajukan cuti karena mengurus sertifikasi, kepala sekolah disibukkan dengan aktivitas bolak balik ke kota. Dan tersisa seorang guru honorer perempuan yang harus mengajar enam kelas setiap harinya. Akhirnya ku putuskan untuk membantu meringankan pekerjaan guru honorer ini dengan mengajar selama seminggu penuh. Biasanya aku mengajar tiga kelas dibagi rata dengan beliau.
Layaknya masyarakat urban dan segala budayanya. Suatu saat datanglah keegoisanku untuk meminta mereka sedikit lebih disiplin. Ku sampaikan bahwa kita akan upacara bendera di Hari Senin. Bukankah ini seharusnya jadi aktivitas lumrah, bukan? Dan dari sanalah drama Hari Senin dimulai. Seharusnya mereka semua datang ke sekolah paling telat 7.30 WIB. Aku menunggu mereka dan mereka baru hadir pukul 9.00 WIB.
“Kenapa tidak ada yang datang pagi ke sekolah?,” karena mengajar sendirian hari itu, aku mengumpulkan mereka di lapangan.
“Karena kami tidak mau upacara,” ucap mereka serentak.
“Kenapa?,” tanyaku dengan sangat heran.
Mereka semua diam. Tidak ada yang ingin menjelaskan. Namun nyatanya aku ngotot minta penjelasan. Aku sempat berburuk sangka dan mempertanyakan tentang nasionalisme mereka. Sebab ya, mungkin negara terlalu banyak membuat mereka kecewa, sehingga upacara bendera hanya seremonial yang dianggap tidak terlalu diperlukan.
Junior satu dari dua siswa kelas enam mengangkat tangan, parasnya gugup dan terlihat menunduk, “kami sudah dua tahun tidak upacara kak, karena hanya dua orang yang bisa membaca,” ceritanya terbata-bata.
Aku salah sangka tapi tidak sepenuhnya keliru. Pemenuhan akan pendidikan yang layak bagi 50 generasi muda ini tidak dijalankan dengan baik oleh negara. Hanya 2 orang dari 50 siswa yang dapat membaca. Kenyataan miris dan menyayat hati. Guru yang jarang masuk mengajar, fasilitas pendidikan yang tidak layak, akses informasi terhambat karena tanpa jaringan internet dan listrik, sedangkan di kota pak menteri sedang teriak program, “MERDEKA BELAJAR”. Lalu kemerdekaan belajar siapa yang sedang negara perjuangkan.
Hari Senin setelahnya jadi begitu haru bagi kami. Kami memutuskan untuk mencoba melaksanakan upacara bendera dengan segala keterbatasan yang kami punya. Hanya dua yang lancar membaca, tidak memiliki pengetahuan baris berbaris, tidak hafal lagu nasional, dan tidak menghafal Indonesia Raya dengan lancar. Untuk pertama kalinya kami upacara bendera setelah dua tahun. Mereka antusias, 21 siswa bahkan merasakan pengalaman pertama mereka upacara bendera.
“...ser-ta de-ng-an me-wu-jud-kan sua-tu ke-a-dil-an so-si-al ba-gi se-lu-ruh rak-yat In-do-ne-sia,” Persika mengeja kalimat terakhir Pembukaan UUD 1945 dengan terbata-bata.