Tantangan dan permasalahan energi di akar rumput bukan hal yang mudah. Sebagaimana pembuka lanjutan tulisan sebelumnya yang berjudul “Desa Tumbang Lapan ‘Surga’ Potensi Energi Terbarukan”. Lalu bagaimana jika ‘surga’ energi terbarukan ini tidak dapat bertahan menghadapi perubahan di masyarakat? Siapa yang seharusnya menjaga agar ‘surga’ ini tetap ada di tengah-tengah masyarakat Tumbang Lapan?
Kehadiran PLTMH Tumbang Lapan pada 2011 menjadi angin segar atas kerinduan masyarakat mengenai hak mereka mendapatkan akses listrik. Energi terbarukan yang bersumber dari air sungai ini menjadi primadona. Namun pesona PLTMH sebagai solusi kehidupan masyarakat tak bertahan lama. Bencana sirnanya ‘surga’ energi terbarukan ini terjadi pada awal 2012. 10 Tahun silam, konflik terhadap PLTMH ini terjadi. Sistem iuran tidak berjalan dengan baik, perbedaan pendapat para penjaga rumah pembangkit, hingga bencana alam yang membuat akhirnya PLTMH terbakar, rusak, dan tidak dapat digunakan lagi.
Pengakuan perangkat desa mengatakan bahwa mereka pernah mengupayakan untuk meminta perbaikan. Namun pengaduan kepada pemerintah kabupaten dan provinsi tak berbalas dengan solusi. Alasan pihak kabupaten dan provinsi pun sangat sesuai regulasi sebab status PLTMH Tumbang Lapan masih belum hibah. Dengan demikian, segala proses perbaikan masih dibebankan kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dalam hal ini Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi. Satu dekade berlalu, entah telah sampai mana laporan nasib PLTMH Tumbang Lapan bergulir dan tidak ada perbaikan.
Akhirnya ‘surat kematian’ PLTMH Tumbang Lapan tiba pada Juni 2022. Setelah dilakukan survey dengan berbagai pertimbangan seperti akan masuknya instalasi listrik dari PLN dan kondisi PLTMH yang rusak parah, maka diputuskan bahwa PLTMH Tumbang Lapan dihapuskan dari aset negara. 10 Tahun mati suri dan kini ‘surga’ yang pernah disambut antusias oleh masyarakat itu kini hanya menjadi cerita dan sebentar lagi sekadar dongeng.
Meski PLTMH Tumbang Lapan telah dinyatakan dihapuskan dari aset, sebenarnya potensi energi terbarukan di Tumbang Lapan tidak lenyap. Mereka masih menggunakan solar home system dan debit air di sungai Tumbang Lapan masih berpotensi untuk adanya pembangkit energi mikrohidro. Akan tetapi, pihak kabupaten pun tidak dapat menjanjikan rekonstruksi karena keterbatasan anggaran daerah.
Apa yang keliru dari proses kehadiran ‘surga’ energi terbarukan ini yang tidak berumur panjang? Salah satunya adalah kesiapan masyarakat. Teknologi atau inovasi sekeren apapun tidak akan bergerak tanpa dibarengi pengembangan sumber daya manusianya. Harusnya ini menjadi ‘wasiat kematian’ dari PLTMH Tumbang Lapan. Sudah saatnya pemerintah yang berwenang tak hanya berfokus pada pembangunan fisik saja melainkan dibarengi dengan edukasi manusianya. Jika memang Indonesia ingin melalui masa transisi energi ini dengan selamat, baiknya ‘wasiat’ PLTMH Tumbang Lapan dijalankan.