Perjalanan menuju Kabupaten Lembata banyak kejadian-kejadian yang tidak terlupakan, mulai dari tas kami yang tertukar, antara kabupaten Lembata dan Sumba, jika itu tidak kami urus di Bandara Kupang, entah bagaimana nasib kami, mungkin bisa jadi saling tukar pakaian dll. Tidak hanya itu, setelah pergantian pesawat, ternyata pesawat dari Kupang menuju Lembata menggunakan pesawat kecil dimana masih pakai baling-baling. Selama naik pesawat saya selalu berdoa semoga cepat sampai dengan aman, karena kestabilan pesawat kurang bagus saat diudara, meskipun kestabilan pesawat kurang bagus, saya berusaha mencari momen-momen yang bagus untuk di abadikan, akan tetapi saat kamera sudah menyala, rasa mual yang saya dapatkan, dan akhirnya saya memutuskan untuk diam saja. Waktu sampai di Bandara Lewoleba (Lembata) para penumpang sudah turun semua, saya masih berdiam diri ditempat duduk, dan diajak turun sama mbak Ina, akan tetapi saya bilang “sebentar lagi ya sambil mengumpulkan nyawa”.
Setelah sampai di Lembata kami bermalam dirumah teman, di daerah yang mayoritas beragama Khatolik. Singkat cerita, disini saya selalu ditemani oleh sesosok penunggu kamar mandi, dimana setiap hari dia tidur di kamar mandi, dan terkadang di depan kamar mandi. Sehingga ketika saya mau ke kamar mandi sering panggil anaknya temen saya (Igen). Dan setelah itu baru saya bisa ke kamar mandi dengan aman, tetapi belum tenang, karena belum tau penunggu kamar mandi kembali lagi di depan kamar mandi lagi apa tidak, dikarenakan Igen kembali aktifitas seperti biasa, disini saya belajar bahwa “kondisi aman belum tentu membuat hati tenang”.
Hal yang paling menarik dalam survey dan inventarisasi LTSHE yaitu ketika kami berada di Desa Warawatung Dusun C (kampung lama). Yakni mulai dari desa menuju kampung hanya bisa di akses dengan jalan kaki, dan jaraknya kurang lebih sekitar 800 m jika ditarik garis lurus dari kampung baru ke kampung lama. Selama kami melakukan pendakian ada beberapa jalannya yang nanjak dan ada juga yang landai. Sampai di kampung lama kami langsung disambut dengan 2 orang gila di kampung tersebut. Meskipun mereka di dalam rumah, tetapi suara mereka menggelegar sampai 1 kampung, dimana dalam 1 kampung hanya 9 rumah saja, dan 1 rumah sudah kosong. Akhirnya kami mencari orang yang bisa kami ajak untuk berkomunikasi, dan akhirnya kami mendapatkan di bagian tengah-tengah pusat kampungnya (bersebelahan rumah adat). Hal yang paling terharu yaitu ternyata di kampung lama orangnya sudah jompo semua, itu kenapa kampung lama masih ada sampai saat ini, karena mereka masih sayang dengan peninggalan nenek moyang, sedangkan anak-anaknya sudah pindah di kampung baru yang sudah teraliri energi listrik (PLN).