Sudah hampir satu bulan berada di tanah Sumba. Tidak terbesit di ingatanku sebelumnya mengenai bahwa inilah saat dimana aku di sini. Sudah ada beberapa hal baru yang aku dapati di sini, salah satunya adalah bahwa setiap tamu yang berkunjung, pasti akan disuguhi dengan sirih, pinang, dan kapur atau suguhan ini kerap disebut dengan sebutan sekapur sirih. Tak mau ketinggalan dengan warga di sini, aku pun tertarik untuk ikut mencoba mencicipinya. Awal mula aku mulai mencoba ini adalah ketika aku berada di rumah salah satu orang Jawa yang menetap di Sumba. Kami disuguhi dengan sirih dan pinang. Ku beranikan diri untuk memakannya, tetapi apa? Ternyata rasanya sepat sekali. Aku diketawai oleh orang-orang karena ekspresi mukaku saat mengunyah pinang yang katanya seperti tengah menelan obat yang sangat pahit. Hal ini aku lakukan semata-mata untuk membiasakan diri dengan adat dan kebiasaan di sini serta sebagai salah satu cara untuk ikut menghormati si tuan rumah.
Sirih dan pinang yang ada biasanya diletakkan di kotak khusus sirih pinang yang terbuat dari anyaman daun-daunan. Meskipun masyarakat di sini sangat menyukai sirih dan pinang, tetapi mereka tidak pernah memaksaakan kehendak kepada kami untuk memakannya. Salah satu alternatifnya adalah dengan mengambil sirih pinang yang disuguhkan kemudian disimpan di tas atau kantong. Demikian pun masyarakat sudah menyukainya. Namun, ada sedikit keinginan agar aku juga mulai untuk berani mencoba.