Penulis: Aditya Wisnumurti, Desi Sylvia
“Beranilah keluar dari zona nyaman, beranilah melakukan apapun yang tidak kamu sukai asalkan itu untuk kebaikan, karena itulah yang akan membangun karaktermu, akalmu, dan hatimu” –Emha Ainun Nadjib
Barangkali kalimat itulah yang mewakili perasaan aku, dan rekanku. Aku yang penuh harap suatu saat bisa menginjakan kaki dimanapun, di tempat yang aku inginkan. Lembaran harap aku simpan rapih dan tertata dalam kepala, meski sebenarnya ada ruang dalam pikiran yang berisik bertanya “kapan akan tiba disana?” aku tak berani menjawab perihal waktunya, hanya saja aku menjawab dalam doa yang membuat ritmeku jauh lebih sering, dan terus beriring.
Satu hari, dalam serangkaian proses yang aku lalui “Papua 3, Kabupaten Mappi” dalam layar putih ukuran 4x3 membuat sorot mataku lebih tajam, aku melihat siapa saja yang menjadi timku. Tim Mappi, kebagi dalam 3 kelompok, dan kelompoku hanya 2 orang isinya aku dan Adit
“Dit, apa yang kamu tahu tentang Papua?” ucapku
“Papua menurutku suatu Provinsi yang unik. Entah lagu, budaya atau tariannya”
“hmm, menarik!”
“tapi, selain itu juga aku ingin tahu tentang bentang alamnya”
Kurang lebih, percakapan awal kami seperti itu. Kami tidak pernah mengira dengan nama-nama kami yang muncul, batinku euphoria karena satu harapku akan segera jadi kenyataan. Berbekal dengan ilmu yang telah dipelajari juga informasi-informasi sebelum keberangkatan, kami juga percaya dengan sebuat istilah “Perjalanan, mengajarkan bahwa orang baik itu tidak sedikit” maka, kami mencoba tenang dan tidak terlalu khawatir, kita berjalan saja, nikmati semuanya.
Papua, 11:45 WIT pijakan kaki tiba di provinsi paling timur, sedang kami dari Barat. Kami tiba di Merauke, betapa banyak hal baru yang kami terima, kebaikan-kebaikan tak henti kami dapatkan, dijemput di Bandara oleh saudara yang sebelumnya belum pernah bertemu sama sekali, dipertemukan seorang Ibu yang sudah memasuki usia senja namun semangatnya luar biasa bahkan hangat penyambutannya sampai berkali-kali diajak makan malam bareng di kediamannya, barangkali cara mereka berdoa berbeda tapi rasa dan syukur kita yang sama. Oh, betapa hangat sekali dalam dekapan perbedaan tetapi justru saling menyatukan.
Perjalanan dari Merauke kami lanjutkan ke Senggo, menggunakan pesawat perintis pengalaman pertama kali, berasa sekali getarannya, goyang-goyang meliuk ketika pesawat mencoba menghindari awan, Kami tertawa walau debar dada tak bisa dibohongi yang semakin menambah ritme dagdigdugnya. Selanjutnya kami memutuskan untuk naik speed boat selama 6 jam untuk tiba di Desa pertama, berangkat dari mulai cuaca cerah, hujan, bahkan mengalami perjalanan malam dengan menyusuri sungai.
Satu hal yang menarik ketika tiba di Desa, semua orang berkumpul. Rasanya tak perlu susah payah untuk mengumpulkan orang, semua warga sudah kumpul dan menyambut dengan hangat.
“Hormat, Bapak Ibu” Ucap warga pada kami dengan memberikan tangan yang siap untuk saling jabat. Kami memulai obrolan dari hal-hal ringan, hingga ke topik-topik yang kami ingin sampaikan. Warga begitu antusias membahas apapun, bahkan untuk survei pun mereka mengikuti dan mengantar ke tempat-tempat yang akan kita kunjungi. Ah, betapa orang baik diciptakan memang tidak ada habisnya ya?
Setelah berhari-hari akhrinya survei selesai, kami kembali ke Kota dengan menggunakan pesawat domestik, keadaan badan sudah sangat lemas, badan kami senderkan pada tas kerir yang kami bawa-bawa seberat ±15Kg, Bandara menjadi niatan kami untuk beristirahat sejenak. Dengan penuh percaya diri aku mengklik sebuah aplikasi untuk memesan gojek dan ternyata di daerah itu tidak ada akses gojek. Sambil mikir-mikir mau naik kendaraan apa untuk tiba di tempat singgah selanjutnya, karena dari bandara hanya bisa menyewa mobil dengan biaya Rp 200.000-, bagi kami itu cukup berat, otak kami otomatis berfikir lebih cepat dan memikirkan cara lain, dan yang terpikirkan saat itu hanya berencana untuk jalan kaki sejauh 12 KM, dengan misi untuk mengamankan saldo dompet. Tiba-tiba dari ujung pintu, seorang petugas menghampiri
“kakak, mau pada kemana?” ucapnya dengan nada yang bingung
“mau ke guest house, Pak”
“sudah ada mobil untuk jemput? Soalnya ini bandara mau nutup” dengan posisi rolling dor bandara sudah tertutup rapih
Saat itu, aku dan Adit saling menatap dan tertawa. Antara bingung dan sangat diburu waktu, pikiran berkejaran dengan posisi sandaran pada barang bawaan yang belum sempat kami bereskan.
“Dari mana dan mau kemana?” seseorang yang berbeda, kembali bertanya
“Dari Fasilitator ESDM, mau ke Guest House”
“Oh gitu, yuk bareng saya saja sudah. Kemasi barang kalian”
Hahaha ketawa kami pecah, yang tadi sempat bingung, kini berubah lebih bingung, karena ternyata ya orang baik itu memang tidak pernah habis.
“Dit, ternyata kita di Papua tidak hanya sekadar melihat banyak uniknya, bukan hanya tentang bentang alamnya. Aku rasa, perjalanan ke Papua adalah mengenal pertolongan tuhan yang tidak ada habisnya” Ucapku berlalu meninggalkan bandara Keppi.
Terima kasih, Papua! Untuk segala pembelajaran yang berharga.
Sampai jumpa di cerita-cerita kami lainnya, yang lebih menarik!
Ciluk, Baaaaaa :)