Mamberamo Raya merupakan sebuah kabupaten dengan luas wilayah 23.814 km2. Wilayah yang sangat luas untuk ukuran kabupaten bukan? Daratannya yang luas dibelah oleh sungai Mamberamo yang membentang sepanjang 1.112 km. Wow, pulau Jawa saja panjangnya cuma 1.064 km, terbayang ya sepanjang apa sungai Mamberamo? Sesuai dengan namanya lah ya, Mambe berarti besar, ramo berarti air, jadi Mamberamo artinya besar air, eh air besar. Tetapi, wilayah sebesar itu, jumlah penduduknya hanya 38.441 jiwa lho, artinya kepadatan penduduknya hanya dua jiwa/km2.. Wah.. sepi apaa.. That is why Mamberamo Raya juga dikenal sebagai negeri seribu misteri, masih banyak misteri yang menyelimuti luasnya hutan belantara Mamberamo Raya yang hanya dihuni sedikit manusia. Emm.. menarik.
Sebelum kita menguak misteri-misteri di Mamberamo Raya, saya mau mengajak teman-teman menyusuri nadi kehidupan Mamberamo, menikmati pemandangan magical menuju jantung kota Mamberamo Raya, yaitu Kasonaweja dan Burmeso.
Untuk menuju Mamberamo Raya, kita bisa menggunakan dua jalur transportasi dari Jayapura, bisa naik pesawat perintis dari bandara Sentani yang mendarat langsung di bandara Kasonaweja, bisa juga menggunakan KM Cantika Lestari 77 yang berangkat sekali dalam satu minggu dari pelabuhan Jayapura. Kapal ini merupakan satu-satunya kapal penumpang yang disubsidi oleh pemerintah Mamberamo raya sebagai moda transportai warga dari Jayapura ke Kasonaweja. Harga tiketnya cukup terjangkau ya, yaitu 270.000 rupiah.
Agar kita dapat menikmati lanskap Mamberamo lebih dekat, jadi kita naik kapal ya. Dari Jayapura, kapal berangkat sekitar pukul 15.00 WIT membelah birunya samudra pasifik. Pagi sekitar pukul 05.00 WIT kita akan sampai di muara sungai Mamberamo yang sangat lebar, dan warna air mulai coklat keruh. Di sini, kapal akan mulai berlayar pelan karena harus melawan arus sungai yang sangat deras. Tidak jauh dari muara, kapal akan bersandar selama setengah hingga satu jam di pelabuhan Teba. Biasanya penumpang akan turun untuk mencari sarapan pagi dengan makanan khasnya yaitu papeda, dilangkapi lauk dari hasil muara sungai seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan yang biasa disebut “Bia” oleh masyarakat setempat. Selain makanan, warga juga banyak berjualan berbagai jenis tanaman hias yang mereka ambil dari hutan, seperti berbagai jenis anggrek spesies, Caladium dan Oxalis. Dari pelabuhan ini, warga dapat menumpang kapal secara gratis menuju Kasonaweja.
Dari Pelabuhan Teba, kapal akan kembali berlayar menyusuri hilir sungai Mamberamo yang sangat lebar, diapit dataran rawa yang dipenuhi dengan tanaman sagu. Saat pagi mulai terang, teman-teman dapat melihat banyak batang-batang pohon besar yang hanyut dari hulu, burung-burung yang terbang menyebrangi sungai, dan jika beruntung dapat melihat buaya besar yang berjemur di tepian sungai. Sungguh suasana pagi yang indah dan tenang dari atas kapal. Oh iya experience ini sepertinya lebih indah jika dinikmati dari haluan kapal ya.
Pada tengah hari, kapal akan bersandar di kampung Bagusa. Di sini, penumpang juga akan turun untuk makan siang dan berbelanja, selain warga lokal, penumpang sendiri juga ada yang turun untuk menjajakan dagangannya yang dibawa dari Jayapura. Orang-orang lokal sendiri sebagian sebagian besar menjual makanan, pinang dan ikan air tawar, yang mana ukuran ikan air tawar sungai Mamberamo jauh lebih besar daripada ukuran ikan air tawar biasanya. Seperti mujair, jika rata-rata di jawa ukurannya sebesar telapak tangan, maka ikan mujair sungai Mamberamo bisa dua kali lipatnya.
Dari Bagusa, kapal akan kembali berlayar, dataran rawa mulai berubah menjadi perbukitan dengan pohon pohon yang tinggi dan lebat, awan terbang rendah di puncak-puncak bukit memberikan kesan mistis. Kapal akan melewati sebuah daratan kecil seperti pulau (sepertinya tidak lebih panjang dari 10m) di tengah-tengah sungai yang dikenal sebagai “Batu Bogor”. Sebelum melewati batu tersebut, kapal harus membunyikan klakson sebanyak tiga kali. Kenapa? Konon, dulu ada sebuah kapal bernama KM Bogor yang tenggelam karena menabrak batu tersebut (itulah sebabnya disebut batu Bogor) dan semua penumpang meninggal. Untuk menghindari kejadian yang sama terulang kembali, sekarang setiap kapal yang melintasi batu tersebut harus membunyikan klaksonnya tiga kali.
Dari Bagusa, kapal akan singgah di kampung Trimuris. Seperti halnya di Bagusa, sebelum kapal sandar, kita akan melihat penduduk berlarian menuju pelabuhan kecil (yang bahkan tidak memiliki dermaga) dan sibuk mempersiapkan dagangan untuk menyambut penumpang kapal turun. Sebentar di Trimuris, kapal melanjutkan perjalanan menuju tujuan terakhir, yaitu Kasonaweja. Seperti apakah Kasonaweja? Kita ulas di cerita Patriot selanjutnya yaa…