Penulis: Alvin Putra S
Bila aku mendengar kata "Indonesia", yang terbesit dalam benakku adalah orang-orang berkulit sawo matang, mengenakan batik, dan makan nasi. Bagaimana tidak, selama 23 tahun hidup, aku lebih banyak menghabiskan waktu di Pulau Jawa. Aku tidak merasa benar-benar mengenal bangsaku sendiri, yang membentang luas dari ujung Barat hingga ke Timur.
Maka dari itu, mataku berbinar ketika mendapatkan penempatan program Patriot Energi 2021 di Kabupaten Mappi, Papua. Jangankan Mappi, menginjakkan kaki di tanah Papua saja aku tak pernah. Aku menantikan hari-hari keberangkatanku, walaupun masih saja disibukkan dengan materi di kelas, ketimbang melakukan persiapan yang lebih matang.
4 November 2021, aku secara resmi menginjakkan kakiku di tanah Papua, lebih tepatnya di Bandara Internasional Mopah, Merauke. Saya tahu kalau udara Papua panas, namun saya tidak membayangkan akan sepanas dan selembab ini. Maklum, daerah Merauke dikelilingi hutan rawa dan sungai, yg membuat udara di sekitarnya menjadi lembab. Namun di luar itu, Merauke masih terasa sangat kota untuk saya. Semua kebutuhan tersedia dengan harga yang terjangkau, dan akses transportasi dalam kota cukup mudah. Namun yang saya amati, orang-orang yang ada pun lebih banyak yang berkulit sawo matang dan berambut lurus, dibandingkan yang berkulit hitam dan berambut keriting. Menurut data dari BPS, sekitar 80% penduduk Merauke adalah keturunan pendatang, dan hanya 20% yang merupakan Orang Asli Papua (OAP).
Kata para kerabatku, orang Papua itu keras. Maklum, alam Papua tidak menerima orang yang lembek. Walaupun mereka berdiri di atas tanah yang kaya raya, mereka bertahun-tahun hidup terjajah dan tertekan, baik oleh korporasi multinasional maupun orang-orang yang mengaku sebangsa. Mereka berbicara dengan lantang, dan hati-hati terhadap orang-orang pendatang. Namun, stigma yang dicoba ditanamkan ke dalam diriku ini runtuh seketika ketika bertemu langsung dengan orang-orang ini.
Kami mendapatkan tempat tinggal gratis di gudang beras milik seorang pendatang dari Bogor. Kami juga bertemu dengan Kak Julitha, yang memberikan kami bantuan informasi mengenai transportasi, desa-desa tujuan, serta penginapan di Hotel Akat. Kami bertemu juga dengan Keluarga Moesieri, yang sering menyambut kami di rumahnya dengan hidangan-hidangan sagu dan ikan khas Papua.
9 November 2021, aku pun akhirnya berangkat menuju Kepi, Kabupaten Mappi, setelah hampir seminggu menunggu ketersediaan tiket pesawat. Pesawat MAF yang kunaiki merupakan pesawat amfibi, yang mendarat di Pelabuhan Kepi. Di sana, kami tak henti-hentinya bertemu dengan orang baik. Kami disediakan penginapan oleh Bapak Carlos, Kepala Bagian Kelistrikan Dinas Perumahan dan Tata Kota Kabupaten Mappi. Kami sempat mengalami kesulitan terkait transportasi kami ke desa-desa di Kabupaten Mappi. Selain jumlah desa yang kami harus survey berjumlah 25 desa, akses antar desa hanya bisa menggunakan speedboat yang melewati sungai berjam-jam. Tunjangan transportasi kami yang hanya bernilai 3 juta rupiah membuat warga lokal tertawa terbahak-bahak. "Uang sesedikit itu hanya cukup untuk beli rokok saja", jawab Pak Herman, seorang pengemudi speedboat di Kepi, saat kami bercerita mengenai tunjangan yang kami miliki. "Orang di pusat memang kebanyakan hanya mau terima jadi saja, tidak tahu kondisi yang dialami masyarakat. Tidak tahu kesulitan dan tantangan apa saja yang dialami, dan cenderung menganggap enteng", lanjutnya sembari menghisap rokok di tangannya. Tepat sekali memang perkataannya tersebut, dan berlaku untuk berbagai macam persoalan di Papua ini. Orang di Pulau Jawa dengan segala kenyamanan hidup yang dimiliki, tidak akan mengerti kondisi masyarakat Papua dan kesulitan akses yang terjadi.
Berkat bantuan subsidi BBM dari Pak Carlos, kami akhirnya bisa melakukan survey ke desa-desa di Kabupaten Mappi. Kami melakukan perjalanan dari Kampung Yame di Distrik Yakomi, dan bermalam di sana. Kondisi listrik masih lebih baik, karena kampung memiliki mesin diesel yang dapat menyuplai listrik pada malam hari. Berbeda dengan Kampung Muya, yang malam hari harus bergelap gulita, dan mengandalkan penerangan dari bantuan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) yang diberikan 5 tahun lalu. Itu pun banyak yang sudah rusak, ataupun dijual oleh masyarakat karena kesulitan ekonomi.
Perjalanan kami lanjutkan ke Kampung Harapan di Distrik Venaha, yang kondisinya tidak jauh berbeda. Kami sempat singgah di Bade untuk beribadah hari Minggu, sebelum melanjutkan perjalanan ke Kampung Gayu dan Kaime di Distrik Passue. Kondisi mereka lebih memprihatinkan lagi. Lokasi mereka sudah berada di perbatasan Kabupaten Mappi dengan Bouven Digul, sehingga akses bantuan sangat sulit. Diesel kampung di Gayu yang menjadi andalan di malam haei pun sudah rusak, tanpa mereka mampu memperbaikinya. Desa Tagaimon Sino dan Tagaimom Korome menjadi tujuan survey terakhir kami. Desa yang luas, ditambah sengatan panas matahari membuat langkah kami makin berat. Namun berkat bantuan warga setempat, kami pun berhasil menyelesaikan tugas kami.
Saat kembali ke Kepi, aku pun merefleksikan perjalanan ini. Masyarakat desa tidak memiliki uang, listrik, apalagi sinyal. Air bersih pun memanfaatkan hujan maupun sumur umum. Tapi alam menyediakan mereka sumber makanan yang melimpah, dari sagu, ikan, rusa, babi, dan hasil hutan lainnya. Dan kehangatan hati orang-orang Mappi menjadi penyejuk di tengah perjalanan kami. Kami pun bertekad, untuk membalas tanya-tanya penuh harap mereka terhadap janji pembangunan di desa-desa, dengan usaha terbaik yang dapat kami berikan.