Burung besi mengangkatku menuju langit-langit Sulawesi
Hinggap menuju lantai daratan Makassar
Kota paling metropolitan
Peradaban tersibuk di tanah Sulawesi
Sayangnya tak lama, hanya sekedar singgah
Setelah kemudian diangkatnya kembali terbang
Menuju daratan metropolitan Kendari
Semalam dua malam menikmati kabut perdaban di sana
Sebelum akhirnya bertolak pergi
Meninggalkan kabut peradaban
Ke utara Sulawesi, bagian Tenggara
4 jam lamanya.
Gigi Taring Ketidakpastian
Konawe, merupakan kabupaten awal tujuan di awal penugasan saya sebagai Patriot Energi. Di Konawe, dua kecamatan yang dituju adalah Latoma dan Asinua. Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan mobil Hylux atau pickup yang suspensinya sudah di up, dengan waktu tempuh +/- 6 jam. Namun sebelum menuju ke kedua kecamatan tersebut, kami (saya dan tim) bertamu ke PEMKAB didampingi oleh camat Latoma dan Asinua yang sebelumnya sudah dalam rencana kami untuk dilibatkan dan direpotkan, guna bertemu Bapak Bupati atau siapa saja yang berwenang mewakilinya untuk menjalin komunikasi sekaligus meminta izin mereka selaku tuan rumah, yang telah didatangi oleh 4 orang asing yang jauh asalnya, 3 berasal dari pulau Sumatera dan 1 dari pulau Jawa, untuk melaksanakan tugas.
Hemat kisah, etika bertamu sudah dipenuhi, serta administrasi penugasan pun telah kami serahkan. Semua ini diatur, disusun dan dilaksanakan bukan hanya untuk formalitas belaka, melainkan untuk menjalin kerja sama antara tamu yang minim orientasi terhadap daerah baru dengan tuan rumah yang telah menguasai medan perang. Namun barangkali demikianlah selalu cara berjalan pemerintah yang tidak pernah mau berjalan beriring seirama, sekedar data yang dimohon untuk mendukung kegiatan di lapangan pun harus dilempar dari hulu ke hilir. Setetes keperluan yang dipinta, selalu ditumpahkan ke bawah. Bahkan kami memohon skema informasi secara virtual pun ditolak. 3 hari kami berkeliling antar dinas tidak mendapatkan hasil. Janji data sederhana seperti debit sungai pun hingga saat ini tidak ditepati. Padahal di awal pertemuan, kata yang paling sering terlontar dari mereka sendiri adalah “kalau nanti ada keperluan, hubungi saja kita”. Bukan bermakna sebagai bentuk tanggung jawab, melainkan kalimat tersebut bermakna sebagai katalisator yang dapat mempercepat laju pertemuan agar berkesudahan, lalu kemudian enyah.
Penolakan ternyata merupakan sambutan, dan adalah satu dari beberapa gigi taring ketidak pastian lainnya yang pasti akan kami temui. Tak lama kami bertahan disini, setelah esoknya kami melanjutkan perjalanan menuju 12 desa yang ada di kecamatan Latoma dan Asinua, dengan hylux putih kami menumpang di bak belakang, bersiap menembus perbukitan di sudut Konawe.
Perjalanan menuju distrik Latoma
Roda-roda gagah berputar melibas lubang jalanan
Sesekali lumpur dan liat menghalangi laju gagahnya
Sempat terhenti, sekali dua kali dorongan, terlepas kembali
Hylux pun kembali melanjutkan tugasnya
Berkali-kali ia terpental ke atas lalu terhempas kebawah
Seakan medan ini memang santapannya
Semakin ia terhempas semakin pula ia gagah
Mobil bertulang besi ini sangat kuat
Yang tak kuat adalah tulang penumpang
Yang sedari awal terhempas di bak belakang
6 jam lamanya
Perkantoran Fiktif yang Ramah
Perkantoran Kecamatan
Hylux yang tadi terlihat gesit kini mulai perlahan mengurangi kecepatannya ketika mulai mendekati sebuah bangunan di sisi kiri, hempasan jalan pun kian berakhir. Kami berbelok memasuki gerbang, lalu menepi tepat di halaman depan yang dipenuhi oleh ilalang yang perlahan habis dicicil sapi. Keberadaaan sapi membuat gedung ini terlihat seperti milik mereka. Tapi jika dilihat lebih jauh lagi, bangunan ini bercatkan biru putih yang melambangkan cat khas pemerintahan. Benar saja, ternyata ini adalah kantor camat latoma, yang ramah. Kecamatan awal yang dituju.
Sesampainya kami di kantor camat, hujan mengguyur deras lebih kurang 30 menit lamanya dan kesempatan bagiku untuk memasuki ruangan kantor ini dengan alasan berteduh. Aku pun dengan sengaja meminjam toilet kantor ini yang biasanya selalu berada di pojokan bangunan dari pintu masuk, dengan begitu semua bagian kantor akan terlewati. Benar saja, pak camat menunjuk kearah pojok bangunan untuk menuju toilet. Perlahan aku berjalan menuju toilet sembari melihat kanan kiri ke arah tiap-tiap ruangan di kantor ini yang kosong, tidak terlihat barang perkantoran apapun. Setelah ku kembali, aku bertanya kepada pak camat perihal kekosongan di kantor ini. Dengan yakin dia mengatakan kalau kantor ini memang tidak dipakai lantaran medan yang dilalui sangat berat dan tidak memungkinkan untuk dia berkantor disini, dan kini pusat pemerintahan kecamatannya pun dipindah di pusat kabupaten, artinya dekat dengan rumah pak camat itu sendiri. Dan singkatnya, bagiku kantor camat yang sekarang ini kami tempati adalah kantor siluman yang hanya dipenuhi sapi yang sedang bertugas untuk memenuhi isi perutnya, fiktif.
Medan yang berat tidak pantas dijadikan alasan oleh pemimpin daerah untuk meninggalkan tugasnya. Jarak yang jauh pun hakikatnya tidak pantas dijadikan pembenaran oleh pemimpin untuk lari dari fungsinya. Dengan dipindahnya pusat pemerintahan camat di pusat kabupaten yang berjarak jauh dari desa-desa kecamatan Latoma, hal ini secara langsung memaksa perangkat desa untuk menghilang meninggalkan desa menuju kota yang berada di bawah bukit guna sekedar mengurus urusan desa. Akibatnya, perangkat desa yang seharusnya berada di desa bisa saja menjadi fiktif dan menyebabkan masyarakat kesulitan untuk bertemu guna mengurus segara keperluan. Dengan begitu, tidak heran jika warga desa-desa di Latoma bak anak ayam kehilangan induk, perangkat yang seharusnya menaungi masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang ada bersama-sama, malah pergi ke kota meninggalkan desa bagai kucing lepas senja. Nasib baik jika mereka kembali, namun sungguh malang bagi masyarakat jikalau perangkat terbuai dengan kehidupan kota, dan kembali ke desa hanya di saat pembagian dana saja.
Kami tak lama berada di gedung yang tak berisi ini, sekedar plotting kordinat lalu kemudian setelahnya menuju desa. Secara kasar, gedung ini terletak dengan jarak +/- 100 km dari pusat kabupaten, dan berada di tengah-tengah dari antara seluruh desa yang ada di kecamatan ini, sangat strategis sebenarnya untuk menaungi desa-desa yang ada, meski terpencil dari peradaban. Dari gedung ini hanya hitungan menit saja untuk saya tiba ke desa yang dituju, Nesowi.
Perkantoran desa
Nesowi merupakan salah satu desa yang berada di ujung puncak kecamatan Latoma, kabupaten Konawe. Desa ini dibentengi oleh tebing-tebing bukit yang tinggi dengan lapisan pepohonan dan ilalang yang membuat suasana di desa Nesowi terkesan asri. Rerumputan dan dahan pohon sibuk menari bersama angin, awan pun bergerak terburu-buru di atap langit sore menjelang maghrib, serta sapi-sapi dan kambing yang berkelompok sibuk mencari isi perut. Yang tak terlihat adalah kesibukan manusia yang memenuhi perkampungan untuk berkegiatan sehari-hari.
Perumahan warga yang sedikit tampak rapi tersusun di samping kiri dan kanan mengikuti garis jalan sepanjang 100 meter di lahan padang rumput yang luas. 15 menitan aku dan pak camat menyusuri jalan pendek ini mencari perangkat desa untuk ditemui, dan hasilnya benar saja nihil, sesuai analisis. Pak desa sedang berada di kota mengurus keperluan, kata seorang warga yang kami temui. Diantara saya dan tim, tidak seorangpun yang berhasil bertemu kepala desa di desa masing-masing lantaran mereka turun ke kota, dan seluruh perkantoran desa pun terlihat sepi. Aku pun menumpang di rumah warga yang sedang terlibat dialog denganku. Untuk menumpang rehat maksudnya, tapi dia dengan senang hati menumpangi ku hidup, sebuah penerimaan pertama bagiku oleh masyarakat biasa yang jauh dari kata berkecukupan.
Matahari mulai terbenam, kampung pun ikut gelap. Telihat sebuah lampu LED putih dengan dudukan hijau berlogokan kementrian ESDM mulai dinyalakan tuan rumah untuk penerangan. Tidak salah lagi, lampu ini adalah LTSHE.
Diskursus Program Patriot Energi 2021
Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) adalah program elektrifikasi pemeritah melalui Perpres RI No. 47 Tahun 2017 untuk memenuhi persenan rasio elektrifikasi nasional ke daerah-daerah terpencil yang belum terpenuhi lantaran akses yang sulit, dengan memanfaatkan sinar surya sebagai sumber energinya (energi bersih)[[1] & [2]]. Kondisi rasio elektrifikasi di indonesia pada tahun 2021 sebesar 99,40%, berkembang sejauh 4,05% persen jika dilihat dari data rasio elektirifikasi dari tahun 2017 dimana program LTSHE pertama kali diluncurkan melalui badan usaha[[3] & [4]]. Secara statistik, LTSHE seperti solusi dari macetnya pemenuhan rasio elektrifikasi di daerah terpencil Indonesia. Namun sejauh mana LTSHE mampu menjawab permasalahan kebutuhan listrik masyarakat di daerah terpencil? Dan layakkah LTSHE masuk ke dalam statistik rasio elektrifikasi Indonesia?
Pemenuhan rasio elektrifikasi melalui jaringan konvensional PLN merupakan kewenangan pemerintah guna memberikan energi listrik yang berkeadilan hingga pelosok negeri. Namun semenjak terjadi konferensi para pihak di tahun 2015 silam (COP 21) di Paris melalui Kerangka Kerja PBB untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UNFCCC) yang membahas isu kerusakan iklim akibat pemanasan global dengan kesepakatan Paris sebagai instrumen internasionalnya yang telah diratifikasi pemerintah ke dalam UU N0.16 Tahun 2016, diinovasikan pula langkah pemenuhan rasio elektrifikasi nasional dengan cara memanfaatkan potensi EBT yang ada di daerah terpencil yang sulit dijangkau untuk kemudian dibangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT)[5]. Sehingga, desa sulit akses harapannya dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan listriknya bermodalkan potensi EBTnya. Hal ini dilakukan pemerintah bertujuan untuk menekan laju pertambahan emisi karbon, dimana jaringan konvensional PLN sendiri yang berbasis PLTU merupakan pembangkit fosil yang menghasilkan banyak emisi karbon yang kontradiktif dengan poin kesepakatan Paris. Pemerintah sendiri juga berencana mengurangi penggunaan PLTU dengan pembangkit EBT sebagai substitusinya yang bertujuan untuk mengurangi total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor energi, dimana sektor energi sendiri merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dengan 36,44 gigaton karbon dioksida equivalen (Gt CO2e) pada tahun 2017[6].
Melalui kesepakatan Paris, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 kelak. Dari 29%, 11% nya adalah emisi karbon dari sektor energi, dan separuh (50%) dari 11%-nya, pengurangan emisi dilakukan melalui pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT. Disamping untuk memenuhi persenan rasio elektrifikasi yang belum tercapai lantaran sulitnya akses, elektrifikasi EBT di daerah terpencil juga sebagai komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi gas karbon di Indonesia[7]. Dan dengan pengembangan EBT di daerah terpencil seperti program nawacita LTSHE ini pula yang membantu rasio elektrifikasi Indonesia meningkat.
Patriot Energi 2021 yang kini saya jalani merupakan program Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) yang bergerak di bidang pengembangan Energi Baru Terbarukan di daerah 4T (terluar, terdepan, tertinggal dan transmigrasi). Artinya, sudah 5 tahun setelah diratifikasi, kesepakatan Paris menunjukkan rangkakan langkahnya di Indonesia. Patriot Energi merupakan satu dari antara beberapa usaha Indonesia dalam mencapai net zero carbon emissions dan membantu mengurangi emisi karbon global dengan mengembangkan potensi EBT yang ada. Melalui program ini pula saya berkesempatan ikut merasakan potensi energi baru terbarukan yang dapat dibangun di wilayah yang belum teraliri listrik dan berkategori 4T, tepatnya di pelosok Sulawesi Tenggara. Terdapat 12 desa yang harus saya dan tim jelajahi di kabupaten Konawe dengan 2 kecamatan yang berbeda, untuk dilakukan survey potensi EBT apa yang dapat dibangun nantinya ke depan. Pengembangan EBT di daerah 4T merupakan langkah pemerintah untuk mengejar target rasio elektrifikasi yang belum terpenuhi, hal ini lantaran jangkauan ke daerah tepencil sangat sulit diakses sehingga dianggap pantas apabila elektrifikasi daerah terpencil menggunakan potensi EBT yang dapat dilakukan secara mandiri. Di sini di Nesowi, saya melakukan penjajalan pertama saya terhadap potensi EBT yang ada.
PLTMH desa Nesowi
Desa yang Dipaksa Mandiri
Malam telah menyingsing dan pagi telah tiba, lampu LTSHE yang dinyalakan semalaman kini dipadamkan untuk kemudian di cas di terminal. LTSHE ini adalah bantuan listrik kedua bagi kampung Nesowi setelah bantuan mesin diesel pada era pemerintahan Pak SBY yang mangkrak akibat masyarakat tidak sanggup menanggung bahan bakar solarnya. LTSHE merupakan paket bantuan listrik dengan 4 mata lampu berukuran besar yang dilengkapi dengan terminal USB untuk pengecasan (terminal), dan 1 buah panel surya tanpa inverter. LTSHE ini juga satu-satunya penerangan yang dipakai masyarakat Nesowi, dan sekilas menjawab pertanyaan di awal, apakah LTSHE layak masuk data statistik? Jawabannya mungkin iya, namun secara kuantitas, bukan kualitas. Karena sejauh mana LTSHE ini mampu menunjang kegiatan produktif masyarakat, masih belum terjawab.
Pada tahun yang sama dengan penghibahan LTSHE di Nesowi, desa ini berupaya mandiri untuk memperjuangkan listrik bagi kebutuhan masyarakat. Tepatnya di penghujung tahun 2018, Nesowi berhasil membangun PLTMH dengan memanfaatkan potensi debit sungainya. PLTMH yang dibangun berada sejauh +/- 2 km dari bibir hutan menuju hulu sungai yang cukup untuk penerangan dan radio. Seolah dipaksa mandiri, PLTMH ini dibangun menggunakan dana desa sendiri yang telah disepakati bersama oleh masyarakat. Akibatnya, PLTMH yang dibangun juga masih jauh dari kata cukup dalam menunjang produktifitas warga. Lantaran dengan kemampuan desa seadanya, PLTMH yang berhasil dibangun berkapasitas kecil, 10.830 VA.
Masyarakat Nesowi seluruhnya adalah petani nilam. Hal ini berawal dari program transmigrasi pemerintah yang menyediakan lahan dan pelatihan penanaman nilam bagi masyarakat yang hendak bertransmigrasi ke daerah ini dan dengan sengaja melalui program ini menjadikan tanah Latoma dan Asinua menjadi tanah nilam. Nilam biasanya dijual masyarakat untuk dimanfaatkan minyaknya sebagai bahan minyak wangi. Sebagian kecil masyarakat hanya menjual begitu saja hasil panen mereka dengan harga murah, dan beberapa lagi memerosesnya hingga menghasilkan minyak kotor melalui penyulingan yang kemudian dijual ke penampung dengan harga yang lebih tinggi. Namun masalah yang dihadapi yaitu krisisnya sumber energi dalam penyulingan minyak nilam. Masyarakat yang saat ini menyuling nilam, memanfaatkan kayu bakar untuk menyalakan tungku penyulingan. Sekali saya mengikuti kegiatan ini, pemrosesan penyulingan memakan waktu dari malam hingga menjelang shubuh.
Proses penyulingan minyak nilam
Pembakaran tungku penyuling nilam yang lama membutuhkan banyak kayu untuk pembakaran. Masyarakat biasanya menebang pohon di hutan untuk mengambil batang kayunya sebagai bahan bakar. Hal ini tentu saja menimbulkan masalah emisi karbon yang bukan hanya dihasilkan oleh gas sisa pembakaran yang lama, melainkan juga dari penebangan hutan yang mengurangi jumlah tanaman penyerap CO2, serta kerusakan tanah akibat penebangan yang juga melepas gas CO2 yang ada di tanah menuju udara. Masalah emisi karbon yang ditimbulkan ini tentu saja kontradiktif dengan komitmen Indonesia menjaga iklim, dan tidak boleh luput dari perhatian pemerintah.
Terdapat alat penyuling nilam yang efisien dan ramah lingkungan, seperti microwave hydrodistillation. Dimana alat ini memiliki nilai spesific energy consumption (SEC) terendah sebesar 1,6773 kWh/gr, dan SEC tertinggi sebesar 4,540 kWh/gr. Dengan SEC yang semakin rendah, energi yang digunakan untuk menghasilkan minyak nilam diklaim juga semakin bagus[8]. Hanya saja, alat ini membutuhkan listrik untuk pengoperasiannya, dan bantuan elektrifikasi berbasis EBT saat ini belum mampu menunjang kegiatan produktif masyarakat. Pertanyaan selanjutnya, apakah pemerataan elektrifikasi konvensional PLN harus dilakukan? Terlebih lagi desa Nesowi dari awal merdeka hingga kini masih belum pernah merasakan listrik PLN.
Pemerataan elektrifikasi konvensional PLN sekilas terlihat mampu menjawab persoalan masyarakat, namun tidak menjawab permasalahan emisi karbon yang dihasilkan. Pembakaran untuk penyulingan minyak nilam sebenarnya juga masih bisa dilakukan dengan jalan alternatif lain seperti diversifikasi energi dengan penggunaan biogas yang berasal dari kotoran sapi yang ada di Nesowi. Namun pada saat tulisan ini dibuat, viral pula berita bahwa Indonesia menghentikan pengeksporan batubara lantaran pengusaha yang tak patuh memenuhi komitmen memasok batubara ke PLN. Akibatnya, 17 PLTU terancam tidak dapat beroperasi dengan total daya yang dihasilkan sekitar 10 gigawatt (GW), setara dengan 10 juta pelanggan[9]. Alih-alih mengembangkan potensi biogas di Nesowi, larangan ekspor tersebut mencerminkan bahwa Indonesia masih manja dan bergantung pada energi fosil serta belum serius dalam pengembangan potensi EBT yang ada. Padahal jika saja Indonesia serius mengembangkan potensi EBT untuk diversifikasi energinya, tentu saja PLN tidak perlu takut terancam ketika batubara diekploitasi ke arah keserakahan pengusaha, dan keinginan pemerintah terhadap desa yang terpencil seperti Nesowi untuk mampu mandiri dengan potensi EBTnya bisa terwujud.
Akhiran
Suara ranting patah dari pijakan kaki kami terdengar berisik di hutan sunyi seiring kami mengayunkan kaki menuju keluar hutan. Kami pun akhirnya tiba di bibir hutan tepat saat matahari diatas kepala. Setelahnya sampai luar, saya bersama masyarakat pun pulang untuk beristirahat sejenak setelah penelusuran potensi EBT dan melihat kondisi PLTMH yang melelahkan. Betapa Nesowi amat kaya akan potensi EBTnya. dimana, ada janji air untuk listrik, janji kotoran sapi untuk biogas, serta janji cahaya untuk terang. Kesalnya, usaha elektrifikasi pemerintah di desa ini belum mengenai sasaran dan terkesan hanya mengejar data kuantitas statistik rasio elektrifikasi semata. EBT seolah menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk dibenturkan dengan sulit akses ke desa terpencil guna memenuhi persenan rasio elektrifikasi yang belum tercapai, ibarat kanan vs kiri. Terlebih lagi hilangnya perangkat pemerintah dari daerahnya yang menyebabkan terhambatnya koordinasi yang baik antara masyarakat dengan pemimpinnya. Berkaca dari Nesowi, desa-desa di indonesia sebenarnya mampu mandiri untuk indonesia terang dan hijau. Hanya tinggal keseriusan pemerintahnya saja dituntut untuk lebih lagi dalam mendukung pengolahan potensi yang ada dengan tepat sasaran. Sehingga niat pemerintah dalam pengembangan EBT di daerah terpencil seolah tidak terlihat sebagai pembenaran bagi pemerintah untuk lari dari tanggung jawab pemerataan elektrifikasi konvensional yang tersandung akses yang sulit, dan juga tidak ada lagi istilah kanan vs kiri. Yang ada, kanan dan kiri, berpasangan saling melengkapi antara EBT dengan kesulitan akses di daerah terpencil.
Bonus
Pipa PVC sebagai penyalur air menuju bak penampung
PLTMH yang ada di Nesowi dibangun dengan menelan biaya setengah milyar lebih. Mirisnya, pembangkit ini rusak hanya dalam waktu 6 bulan. Perbaikan sudah diupayakan pemerintah desa dengan memanggil teknisi namun tak berhasil. Jika ditinjau dari standard bangunan sipil nya, terlihat pembangunan ini sembarangan sehingga menyebabkan beberapa komponen mengalami kerusakan seperti penyumbatan, patah dan semacamnya. Dari gambar diatas merupakan satu dari beberapa contoh betapa sembarangnya pembangunan ini dilakukan. Tak perlu analisis cemerlang untuk melihat ini salah, tak perlu sekolah 10 tahun untuk memprediksi apa yang terjadi pada pipa ke depannya. Dan siapapun dia yang bertanggung jawab dalam pembangunan ini pastinya telah menyicipi manisnya bangku perkuliahan yang dengan ilmunya keuntungan materi mudah diperoleh.
Ada istilah lawas yang cukup baik. Tidak untuk menjelekkan, tapi sekedar untuk refleksi, yaitu:“dahulu aspal-aspal tebal nan kokoh, semenjak lahir sarjana teknik, aspal menjadi tipis dan mudah hancur. Dahulu alam lebih berharga dari uang, semenjak lahir sarjana ekonomi, uang lebih berharga dari alam”.
Survey proyek bendungan pelosika
Kabar baiknya, jaringan PLN akan masuk ke Nesowi. Kabar buruknya, terdapat proyek pembangunan bedungan pelosika untuk PLTA di Nesowi yang memakan banyak lahan masyarakat. Akibatnya, hingga kini masyarakat kehilangan kemandiriannya lantaran terus bergantung pada janji ganti untung tanah dari pemerintah yang berulang batal lanjut-batal lanjut dari tahun ke tahun. Akibat batal lanjut ini, juga berdampak pada kegiatan surveying yang tak kunjung berlanjut ke tahap berikutnya dan membuang banyak biaya di tahap yang sama, itu-itu saja. Lebih buruknya, Nesowi dan belasan desa lainnya terancam tenggelam.
Ketidakpastian kembali menunjukkan taringnya, yang kemudian membawaku pindah tugas menuju pelosok lain Sulawesi. Seujung-ujungnya kaki "K" perspektif simbol pulau Sulawesi. Di kepulauan kecil yang tak tampak di peta, Batuatas. From summit to the sea.
Salam hangat, Alfi.
Sulawesi di ujung pena~
REFERENSI
Buku
[7]
Prasetyo, Aris dkk, Jejak dan Langkah Energi Terbarukan Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2021.
Jurnal Ilmiah
[8]
Yuliana, Dwi Astri dkk, “Proses Pengambilan Minyak Atsiri dari Tanaman Nilam (Pogestemon Cablin Benth) Menggunakan Metode Microwave Hydrodistillation”, dalam Jurnal Kinetika, Vol. 11, No. 03, Tahun 2021.
Media Daring
[1]
Humas Sekretariat Kabinet RI, “Program LTSHE, Apa Urgensinya?”, dalam https://setkab.go.id/program-ltshe-apa-urgensinya/, diakses pada 30 Maret 2022.
[2]
Pebrianto Eko Wicaksono, “Cara Pemerintah Tingkatkan Rasio Elektrifikasi di Desa Terpencil” dalam http://m.liputan6.com/bisnis/read/2828357/cara-pemerintah-tingkatkan-rasio-elektrifikasi-di-desa-terpencil?, diakses pada 30 Maret 2022.
[3]
Safii, “Kuartal ke III 2018, Rasio Elektrifikasi Capai 98%”, dalam https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/triwulan-iii-2021-rasio-elektrifikasi-9940-kapasitas-pembangkit-ebt-386-mw, diakses pada 31 Maret 2022.
[4]
Badan Pusat Statistik, “Rasio elektrifikasi 2015-2017”, dalam https://www.bps.go.id/indicator/7/1155/2/rasio-elektrifikasi.html, diakses pada 30 Maret 2022.
[5]
Redaksi, “Akselerasi Pemanfaatan EBT untuk Wilayah 3T”, dalam https://www.ruangenergi.com/akselerasi-pemanfaatan-ebt-untuk-wilayah-3t/, diakses pada 30 Maret 2022.
[6]
Redaksi, “Sektor Energi Jadi Penyumbang Terbesar Gas Rumah Kaca”, dalam https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/02/16/sektor-energi-jadi-penyumbang-terbesar-emisi-gas-rumah-kaca, diakses pada 2 April 2022.
[9]
Verda Nano Setiawan, “ESDM Ungkap Alasan di balik Kebijakan Larangan Ekspor Batu Bara”, dalam https://katadata.co.id/amp/happyfajrian/berita/61fa3817e9b15/esdm-ungkap-alasan-di-balik-kebijakan-larangan-ekspor-batu-bara, diakses pada 1 April 2022.