Perjalanan Perdana
Ini tentang perjalanan pertama ku. Oh iya, tidak hanya aku, ada Issa yang penugasan di kampung sebelah. Sehingga ini perjalanan perdana kami ke Yeobi dan Webu untuk live in. Sebelum tahun 2016 Yeobi dan Webu merupakan 1 kampung bernama Turiram. Kampung Webu merupakan kampung pemekaran. Sehingga sampai saat ini kampung Yeobi sering disebut kampung Turiram. 2 kampung tersebut berada di pulau Kimaam. Sebagaimana orang luar yang akan tinggal di kampung orang tentu perlu melakukan izin. Sehingga saat berada di Kimaam, aku dan tim Merauke melakukan izin ke Polsek, Koramil – Babinsa masing – masing kampung penempatan, pun izin kepada kepala kampung masing – masing.
Gambar 1. Pemukiman kampung Turiram dan Webu yang bersebelahan
(sumber: gis.disdukcapil.com, 2021)
Melalui Koramil Kimaam, kami (aku dan Issa) bertemu dengan bendahara Kampung Turiram yaitu bapak Fincen. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk mengantarkan kami ke kampung di hari berikutnya. Perjalanan ini dimulai dari dermaga belakang kantor distrik Kimaam menggunakan perahu fiber (masyarakat sering menyebutnya speedboat). Kali ini kami satu speedboat bersama anak – anak sekolah yang libur dan ingin menuju kempung. Melewati sungai besar di belakang distrik kemudian keluar ke menuju laut hingga kembali masuk ke Muara.
2. Gambar 2. Salah satu speedboat yang digunakan masyarakat
Di Muara tersbut terdapat kios nenek Tri. Satu – satunya kios tempat masyarakat Turiram dan Webu. Selain menjual makanan, pinang, dan beberapa kebutuhan masyarakat. Kios ini juga membeli hasil alam dari masyarakat. Masyarakat biasa menjual daging rusa, pisang, kepiting, gelembung, dan bensin. Tempat itu sering dijadikan tempat transit oleh masyarakat yang hendak pergi ke luar kampung atau masuk ke kampung walaupun sekedar membeli bekal perjalanan, seperti nasi, pisang goreng, biskuit, atau air minum. Tidak terkecuali kami juga mampir ke kios. Menyapa beliau yang sudah berumur 80-an tahun namun tetap ulet. Selama kurang lebih 30 menit kami berbincang ria dengan beliau. Akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menyusuri sungai yang meliuk – liuk seperti ular.
Gambar 3. Kios Muara Nenek Tri
Ada 3 dermaga yang dijadikan sebagai tempat pemberhentian dan dilanjutkan dengan jalan kaki untuk menuju kampung. Dermaga yang pertama adalah dermaga bambu, karena banyak tumbuhan bambu. Dari dermaga bambu masyarakat menjutkan jalan kaki cepat dengan durasi 1 jam saja menuju kampung Webu. Dermaga yang kedua adalah dermaga Kelapa, karena banyak tumbuhan kelapa. Dari dermaga kelapa, masyarakat bisa berjalan kaki menuju kampung Turiram selama 30 menit saja dengan jalan cepat. Kami tidak berhenti di dua dermaga tersebut, namun langsung menuju dermaga ketiga yaitu dermaga kampung Webu. Perjalanan ke dermaga kampung Webu harus melewati sungai yang lebih sempit (masyarakat biasa melalui dengan perahu tokong). Ya cukup memakan waktu jika dilewati oleh speedboat. Kami sering kali berhenti di tengah sungai karena banyak tumbuh – tumbuhan rawa yang tumbuh di sepanjang sungai, pun akar – akar mereka yang menghalangi. Belum lagi ada bekas kayu – kayu pohon yang jatuh melintang menghalangi jalan speedboat dan bisa kapan saja menghantam, pun tikungan sungai yang tajam. Tentunya dengan medan seperti ini melewati sungai bisa memakan waktu lama dibandingkan dengan medan yang biasa saja. Aku percaya sebagai driver speednoat, Om Ben namanya. Tentu ia sudah hafal dengan alur dan medan perjalanan. Aku salut dengan Om Ben. Perjalanan melalui sungai kecil ini dari dermaga kelapa bisa memakan waktu kurang lebih 1 jam.
Saat sampai di dermaga Webu pun kami harus melewati bawah jembatan kampung Webu. Untung saja saat itu air tidak terlalu tinggi. Bahkan saat kami lewat nyaris sama dengan tinggi mesin speedboat. Ketika sampai kampung Webu, kami kembali berjalan menuju rumah tempat kami tinggal yang berada di wilayah pemerintahan (masyarakat menyebutnya karena wilayah itu merupakan fasilitas umum untuk kedua kampung), terletak diantara kampung Webu dan Turiram yaitu rumah guru, seperti yang Bapak Fincent katakan kepada kami untuk tinggal di rumah guru.
Gambar 4. Jembatan dermaga Webu yang kami lewati, harus menunduk untuk dilewati.
Begitulah, tempat baru bersama orang – orang baru. Tentu perlu penyesuaian diri, menemukan ritme agar bisa berjalan berirama walaupun tak sama. Memang menyiapkan segala hal dibulan pertama live in, seperti trial and error. Pada bulan ini kita bisa tahu hal – hal mana saja yang perlu dan tidak sebagai persiapan di bulan berikutnya agar lebih baik.