Hari itu saya mendapat panggilan dari seorang pemuda kampung bernama Demi. Dua hari sebelumnya ia telah mengumpulkan kelapa dari kebun yang diperoleh dari bapaknya. Jumlahnya kurang lebih sekitar seribuan kelapa. Selanjutnya kelapa tersebut akan diolah menjadi kopra.
"Ka Ian, ka Ian mau bikin apa?" sapa Demi.
"Mau beres-beres saja sedikit ini."
"Ooh.. ka Ian, tong masuk di hutan kah, sa ada kumpul kelapa kemarin itu. Hari ini mau dikerja untuk kopra, ka Ian nanti jaga sa"
"Oh boleh, sa lanjut dulu e, ko duluan sudah, nanti sa menyusul"
***
Jaga Sa, ungkapan ini biasanya diucapkan ketika seseorang akan masuk hutan, baik itu untuk berburu, berkebun, dan lain sebagainya. Memiliki arti dampingi yang bermakna bukan untuk memberikan perlindungan dari berbagai gangguan, tetapi memberi bantuan tenaga atau sekedar menemani jalan. Meskipun memiliki makna demikian ungkapan tersebut hanya berlaku ketika melakukan aktifitas dalam hutan saja, diluar dari itu orang-orang lebih menggunakan kata temani/kawani.
***
Hari itu saya sedang membuat meja dapur. Setelah beres-beres, saya segera bergegas ke kebun, takut membuat Demi kelamaan menunggu. Kebunnya tidak jauh, kurang lebih 50 meter dari ujung kampung. Sesampainya di kebun, saya melihat Demi tidak sendirian, disana sudah ada Pak Desa, Laver, Moses, Kunrad, Teteh Pucuk, Bapak Abraham, juga Linda (Maitua/Istri Demi).
Saya menyapa sekenanya, tidak ingin terlalu mengalihkan fokus mereka yang sedang sibuk bekerja. Keringat dan hasil kerja menunjukan mereka sudah berada disana sejak 1-2 jam yang lalu. Saya mengedarkan pandangan ke segala arah, melihat masing-masing orang sudah mengambil peran yang berbeda-beda. Ada yang membelah kelapa menjadi dua bagian, ada yang menyisik kelapa (memisahkan daging kelapa dari cangkangnya menggunakan besi yang sudah dibentuk sedemikian rupa), ada yang memindahkan daging kelapa ke tempat pengasapan, dan ada pula yang bertindak khusus sebagai bandar minuman lokal, lebih tepatnya Enau. Si Bandar Enau ini bertugas menuangkan enau di sebuah bambu sebagai pengganti gelas, kemudian memberikannya pada tiap pekerja. Minuman yang selalu menjadi kawan setia disetiap kerja-kerja masyarakat kampung ini diperoleh secara gratis. Selama peredarannya masih dalam kampung, minuman ini tidak pernah diperjual belikan. Siapa saja boleh mengambil, siapa saja harus merawat.
Saya kemudian duduk mengambil tempat di sebelah Kaka Laver yang saat itu sedang menyisik kelapa.
"Sa kira ini punya Demi saja" kataku membuka percakapan.
"Iya, punya Demi" sanggah Teteh Pucuk dengan ekspresi meyakinkan.
"Baru?"
"Kitong bantu toh, kelapa banyak ini siapa mampu kerja sendiri?" balas Laver.
"Oh, berarti betul punya Demi saja e?"
"Iyoooo..."
"Jadi ini nanti hasil jualnya bemana, bagi hasilkah, atau Demi kasi gaji?" tanyaku penasaran.
"Ah trada, kitong bantu saja toh, besok kalau sa ada bikin kopra juga, dong bantu sa lagi"
"Oohh yayaya, berarti gantian begtu e? Jadi tuan rumah cukup sediakan enau sama A.K saja ini?" tanyaku lagi. A.K atau Anggur Kupu adalah rokok linting yang biasa digunakan masyarakat kampung.
"Ah itu juga tra harus, kerja-kerja saja toh, kalo orang sudah bakumpul, kitong tinggal baku suruh siapa mau ambil enau... Begini, kalau sa ingin bikin kopra sa tinggal datang saja buang bahasa, begitu saja orang su mengerti itu, tara perlu lagi siapkan ini itu"
Saya mengangguk pelan. Dalam hati, saya mulai paham, kagum juga tentunya. Sesuatu yang sudah hampir langka di tempat saya, tapi disini masih sangat-sangat terjaga. Kerja tanpa imbalan, saling bantu menjadi tujuan.
Kerja-kerja saling bantu tidak hanya sebatas itu saja, sebab setiap pekerjaan yang melibatkan fisik selalu dikerjakan bersama dan tentu saja cuma-cuma. Seperti membangun rumah, renovasi rumah, mengumpulkan hasil panen, dll. Bukan karena mereka pelit atau tidak mengenal rupiah, tetapi status keluargalah yang menjadi alasan utama setiap aktifitas mereka. Terkecuali untuk kerja-kerja yang melibatkan tenaga dari luar kampung, si tuan rumah wajib menyiapkan hidangan sebagai ganti imbalan.
Saya juga pernah menanyakan kebiasaan tersebut kepada Bapak Kepala Kampung. Ia memberikan penjelasan bahwa mereka semua disini berasal dari keluarga yang sama. Karena itu, tidak hanya soal bekerja, hasil buruan pun selalu dibagi secara cuma-cuma. Rumah-rumah yang ada hampir setiap orang boleh saja mengaksesnya, entah itu untuk makan, membuat air panas hingga tidurpun semua boleh dilakukan. Satu-satunya yang menjadi privasi disetiap rumah di kampung ini hanyalah kamar tidur.
Dan apa yang dikatakan Pak Kepala Kampung ini pernah saya alami. Di Esmambo, saya mendapatkan satu rumah untuk ditinggali sendiri. Ada suatu ketika salah seorang pemuda datang ke rumah. Kejadian ini kira-kira setelah satu bulan saya tinggal di kampung. Ia datang menanyakan ada makanan apa di rumah saya, setelah mendapat jawaban kemudian ia izin untuk makan dan langsung masuk ke dapur. Untuk orang baru seperti saya, tentunya ini kejadian yang sangat tidak lazim.
Saya teringat saat masih kecil dahulu, orang tua saya selalu menekankan jangan pernah makan di rumah orang sekalipun itu keluarga, tujuannya sebenarnya untuk menghindari dari kebiasaan menumpang makan, tapi orang tua saya mencegahnya dengan bentuk larangan yang tegas.
Dengan latar belakang kebiasaan yang berbeda seperti itu, jujur saja sempat membuat saya berpikir tindakan tadi tidak sopan, tapi lama-kelamaan saya mulai mengerti bahwa hal tersebut lumrah dan sudah menjadi kebiasaan mereka. Pada pemikiran terbuka kita akan mendapati bahwa kebiasaan tadi turut menciptkan adanya rasa kekeluargaan yang tinggi, imbasnya adalah kerja-kerja saling bantu dan saling berbagi tadi.
Luar biasa!
Setelah melewati proses berpikir yang cukup panjang, secara spontan akhirnya saya buka suara dan langsung disepakati oleh kaka Laver.
"Sekarang sa bantu ko, nanti ko bantu sa"
"Haa betul sudah itu, betul sekali. kalo ian su bilang begitu berarti Ian su paham itu” Ia membuat jeda dan saya balas dengan sedikit tawa.
"Sa ada kebun kelapa 3 hektar, nanti Ian yang panjat baru tong bikin kopra" lanjutnya, dengan senyum tipis ia coba meyakinkan.
Sembari tertawa kecil, saya hanya memberikan umpatan canda khas disana
"Ko gilaaa!...hahaha"
Disusul tawa-tawa lain pemuda kampung yang ada disana.
Suasana hangat tercipta, bukan sekedar terlahir dari percakapan, tapi juga karena berliter-liter Enau yang sudah melewati tenggorokan, kehangatan bentuk lain tentunya.