Sore itu, kami jalan-jalan sore menuju lapangan pacu pesawat perintis di Kasonaweja dalam rangka hari-hari terakhir kami di Mamberamo Raya. Banyak aktivitas masyarakat di sepanjang lapangan pacu, anak-anak bermain bola, mama-mama mengobrol sambil mengasuh anak balita, remaja nongkrong, dan papa-papa memainkan musik lengkap dengan speaker yang dipanggul. Kami ikut mengobrol dengan mama-mama, keluhan mereka hampir sama tentang harga BBM. “Aduh, mama ini bingung sekali e, mau kasih makan motor atau makan anak” ucap salah satu mama. Mendekati hari natal, harga BBM makin tidak masuk akal. Sore itu harga BBM eceran tembus 200 ribu rupiah per 1,5 liternya. Gilak!
Melambungnya harga BBM menjelang natal sudah menjadi cerita rutin disini. Adanya mafia BBM diperparah dengan kondisi cuaca buruk yang biasa terjadi diakhir tahun. BBM berupa pertalite dan solar subsidi yang berasal Kabupaten Biak Numfor, diangkut menggunakan kapal kayu. Sehingga ketika cuaca buruk dan gelombang sedang tinggi sudah dipastikan supply BBM akan tersendat. Malam natal kami datang ke acara bakar batu dan perayaan malam natal yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, meriah sekali malam itu. Sayang kemeriahan hanya terjadi diacara tersebut. Ketika pulang dari acara, kami menyadari suasana natal terasa kurang lengkap tanpa lampu warna-warni yang menghiasi jalanan kota dan rumah masyarakat. Terlintas dipikiran bagaimana suasana natal masyarakat di kampung ya? Mungkin hanya merayakannya dalam hening dengan lampu pelita, gumanku.
Ada banyak hal yang menyebapkan mahalnya BBM di Mamberamo, tapi alasan utama adanya oknum mafia BBM. BBM subsidi berupa Pertalite sebanyak 90 ton, Solar sebanyak 30 ton, dan Minyak Tanah 10 ton per bulan dari pertamina harusnya bisa mencukupi kebutuhan masyarakat. Namun praktek monopoli dan penimbunan kerap terjadi, bahkan ada indikasi adanya campur tangan aparat keamanan. Siapa yang memonopoli? Opini saya mengarah pada para pengusaha dan pedagang yang datang dari luar daerah yang dibantu oleh aparat keamanan. Tanpa bermaksud menjatuhkan nama baik salah satu suku, daerah, dan instansi pemerintah maupun swasta, tapi begitulah faktanya. Pedagang dari luar daerah yang umumnya berasal Makasar dan Toraja, menguasai sentra-sentra perekonomian seperti kios dan toko. BBM menjadi sangat penting untuk kegiatan dagang dan usaha mereka.
Untuk distribusi BBM ke Mamberamo Raya saya beropini Pertamina menggunakan pihak ketiga yang mana rawan terjadi penyelewengan. Kapal kayu jenis pinisi khas Suku Bugis yang mengangkut BBM menuju ke Mamberamo Raya pun sebagian besar milik rekan dari para pedagang. Saat kapal BBM tiba, harga masih normal yaitu 8 ribu rupiah per liternya, namun para mafia ini dengan modal besar yang mereka miliki membeli habis BBM setiap kapal datang. BBM mereka timbun dan ketika BBM mulai langka, mereka menjualnya dengan harga yang berkali-kali lipat lebih mahal. Harga BBM eceran yang umumnya 50 ribu rupiah per 1,5 liter tersebut karena sudah melalui beberapa tangan sehingga harga begitu mahalnya. Terjadilah monopoli BBM oleh para pedagang dan pengusaha. Ketika malam tiba kesenjangan akan makin nampak kios, toko, dan rumah pedagang terlihat terang benderang dengan genset yang mereka miliki, orang asli daerah? Malam mereka dilalui dengan tidur dalam gelap.
Minimnya pengawasan BBM dari pihak pemerintah dan adanya kemungkinan aparat keamanan ikut bermain dalam kasus monopoli ini membuat menderita masyarakat kecil asli daerah. Bagaimana tidak, perkembangan zaman, lingkungan, dan kondisi memaksa mereka bergantung pada BBM yang harganya terlampau mahal. Akses transportasi melalui sungai dengan speedboat atau perahu dengan motor tempel menjadi satu-satunya akses masyarakat dari kampung ke kota atau sebaliknya. Masuknya produk-produk dari luar membuat masyarakat asli daerah menjadi konsumtif dan tergantung pada produk tersebut yang distribusinya pun jauh dari kampungnya, ujungnya pun BBM. Pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan pun menjadi jauh disebut layak, masalahnya mahalnya BBM juga mempersulit mobilasi guru, perawat, dan mantri dalam melaksanakan tugasnya. Kasus ini bak sebuah siklus yang berulang menciptakan kesenjangan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Lingkaran setan BBM ini menciptakan kemiskinan struktural karena tidak ada keadilan yang merata bagi warga asli daerah. Kemiskinan struktural ini mempunyai ciri-ciri utama adanya ketergantungan kelompok masyarakat miskin yang didominasi oleh warga lokal terhadap kelompok masyarakat menengah hingga kaya (pedagang dan pengusaha). Pendapatan dari berkebun dan nelayan yang merupakan mayoritas mata pencarian masyarakat tentu tidak setimpal dengan harga BBM, padahal untuk mencari ikan dan membuka lahan memerlukan BBM dari para mafia BBM. Perubahan pola dan gaya hidup masyarakat asli daerah karena pengaruh produk dari luar yang diikuti perkembangan zaman yang terkesan cepat bagi mereka, memaksa mereka semakin bergantung pada para pedagang atau pengusaha. Kemiskinan struktural ini sangat berbahaya dan mematikan, yang mempersulit masyarakat miskin untuk bangkit dari kemiskinannya.
Ada benang merah yang muncul dari semua tulisan diatas, bergejolak itu pasti. Sabar, masyarakat sudah sangat sabar, tapi bukannya tingkat sabar manusia pun ada batasnya? Belum lama ini harga BBM non-subsidi naik, salah satunya jenis Pertamax yang per 1 April 2022 harganya menjadi Rp 12.500 per liternya. Tidak ada demo yang berlebihan, karena warga di Jakarta dan wilayah lain yang masih beruntung karena mempunyai pilihan lain, Pertalite, BBM subsidi dan murah. Tidak ada demo berlebihan bukan berarti tidak ada demo sama sekali. Baru-baru ini mahasiswa di Garut, Jawa Barat melakukan demo lantaran harga BBM non-subsidi dan harga pangan yang naik. Lalu, apakah masyarakat Mamberamo Raya dan wilayah lainnya yang tidak seberuntung mereka para pendemo, mempunyai pilihan lain atau melakukan demo? Tidak ada pilihan lain tidak ada unjuk rasa, mereka terlampau sabar dalam hati saya. “Saat ada kenaikan harga BBM subsidi lima ratus rupiah saja, Jakarta sudah penuh orang demo. Disini BBM naik jadi 30 ribu, sudah biasa, naik lagi 50 ribu, sudah biasa, naik lagi jadi 100 ribu, juga sudah biasa, bahkan sekarang 200 ribu kami tetap biasa saja.” Ujar salah satu pejabat setempat. Sudah “biasa” memiliki penafsiran yang luas, bisa jadi biasa untuk bersabar, bisa juga terbiasa menyimpan dendam. Bagai rentetan bom waktu yang menunggu detik untuk meledak berulang kali, sabar yang mencapai batas dan dendam kesumat akan melahirkan gejolak berkepanjangan.
Bergejolak untuk melakukan demo dengan tertip tidak ada masalah, bagaimana dengan bergejolak lalu menimbulkan revolusi berdarah? Saya rasa itu sudah terjadi saat ini dan menjadi peristiwa alamiah untuk terjadi. Sejarah peradaban manusia khususnya peristiwa revolusi menujukan sifat alamiah manusia untuk beradaptasi dalam melawan ketidakadilan. Sama halnya dengan sejarah Indonesia yang melakukan revolusi kebangsaan dengan berjuang untuk merdeka dengan melawan kolonialisme dan imperialisme barat kala itu. Saya rasa hak untuk berjuang juga dimiliki semua manusia dimuka bumi, termasuk masyarakat Mamberamo Raya, Papua.
Selengkapnya: https://medium.com/@billyyansa/bbm-kemiskinan-tersruktur-b917e396aaef