Bahasan ini sebenarnya lebih mengarah pada kebinguan saya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi di tempat penugasan saya. Siapa yang salah dan siapa yang harusnya disalahkan? Terkesan mudah dalam mengkambing hitamkan salah satu pihak. Tapi ya sudah lah, biarkan saja opini pembaca tulisan saya ini yang menilainya. Setidaknya saya coba ceritakan terlebih dahulu.
Pertengahan Bulan November tahun lalu merupakan kali pertama saya dan kawan-kawan tiba di Kasonaweja, Ibu Kota Kabupaten Mamberamo Raya. Menjelang magrib kala itu kami tiba Kasonaweja, keluar dari kapal kami tidak melihat seperti sedang berada di pelabuhan. Tidak ada pelabuhan, kapal menyandar begitu saja di tebing pinggir sungai. Papan sepanjang lima meter dan selebar setengah meter menjadi jalan satu-satunya bagi penumpang untuk turun dari kapal. Firasat saya mulai kurang baik.
Firasat saya betul adanya, minggu pertama tiba di ibu kota kabupaten, kami hanya bisa geleng kepala. Semua serba baru di kepala kami. Kami tinggal di guest house milik pemerintah daerah atas bantuan salah satu pejabat Dinas ESDM di tingkat provinsi yang kebetulan sebelumnya bertugas disini menjadi kepala dinas. Stop! Jangan salah sangka dulu, guest house ini lebih mirip rumah hantu karena kondisinya yang telah lama kosong dan tidak terawat. Malam pertama kami saat tiba, listrik sudah padam sejak dua hari sebelumnya, dan terus padam hingga tiga hari berikutnya. Listrik padam, sinyal telekomunikasi pun juga auto padam juga. Pagi hendak mandi juga tidak ada air, ternyata harus tunggu air hujan. Kejutan berikutnya muncul dari harga BBM eceran. Harga BBM untuk 1,5 liternya mencapai 50 ribu rupiah. Lengkap sudah, listrik, sinyal, air, BBM, susah semua.
Memang masalah BBM ini menjadi penghalang utama kegiatan kami, terutama menjalankan tugas survai. Tugas kami sebagai Patriot Energi sudah jelas, dua bulan pertama sebagai surveyor SPEL dan APDAL. Fyi, SPEL dan APDAL merupakan terobosan baru dari Kementrian ESDM untuk memberikan bantuan penerangan untuk desa yang belum mempunyai akses listrik terkhusus penerangan. Akan ada 14 desa atau kampung di Mamberamo Raya yang akan menerima SPEL dan APDAL. Saat berkoordinasi dengan Dinas ESDM di Provinsi, memang sudah diingatkan bahwa untuk mengunjungi 14 desa tersebut membutuhkan biaya tidak sedikit. Sebagai gambaran untuk menuju desa terjauh, paling tidak membutuhkan 10 drum BBM, 1 drumnya 200 liter, 10 drum yaaa 2000 liter. Hitung sendiri sudah, jika 1 liternya 50 ribu. Itu baru BBM ya, belum lagi untuk sewa speedboat dengan motorisnya. Lupa masih ada lagi keperluan BAMA dan bahan kontak. Alhasil hitungan kasar RAP (Rencana Anggaran Perjalanan) tembus diangka 145 juta untuk kampung terjauh, sedangkan dua kampung terdekat perlu anggaran kurang lebih 15 juta. Tunjangan yang ditambah gaji pokok kami berenam pun takkan mampu menebus biaya menuju kampung terjauh. Kami pindah lokasi tugas, bukan karena pecundang karena mundur dari medan laga tapi demi kewarasan, kesehatan, keamanan, dompet, dan masa depan kami.
Kembali lagi pada wajar atau tidak wajar, banyak sekali alasan kenapa begitu amburadulnya kabupaten ini. Mulai dari pemerintah daerah yang kacau hingga muculnya mafia BBM. Pemerintah daerah periode 2016-2021 yang dipimpin oleh bupati terpilih Bapak Dorinus Dasinapa terkesan pasif dalam segala hal, membuat efek domino kacaunya kabupaten ini. Dua bulan kami tertahan di ibu kota kabupaten, kami habiskan untuk mengobrol dengan masyarakat. Apa lagi ketika listrik menyala, bahan obrolan mulai dari hal receh hingga masa depan kabupaten ini. Dari sekian banyak hal yang kami obrolkan, “ghibahin” bupati lama memang jadi bahasan wajib. Obrolan itu selalu kami mulai dengan pertanyaan; Alasan apa yang menyebapkan kami geleng kepala saat awal tiba di kabupaten ini? Satu persatu borok mantan bupati pun terungkap, mantan bupati yang saat ini berada di jeruji tahanan karena kasus korupsi bantuan Dana Covid-19.
Bagaimana tidak disebut pemerintah daerah yang pasif, toh juga bupati tidak tinggal di kabupaten, tapi tinggal di Jayapura selama menjabat, tutur masyarakat. Pembangunan dan pelayanan publik menjadi salah satu borok yang paling terlihat mata. Selama lima tahun menjabat tidak ada pembangunan fisik atau program tepat guna yang terlihat, bahkan di pusat pemerintahan, Kasonaweja atau Burmeso. Lalu lari kemana kucuran dana dari pusat seperti Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), hingga Dana Otonomi Khusus (Otsus)? BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) dan Ombudsman ramai-ramai melakukan pemeriksaan dan penyelidikan akhir tahun 2021 lalu. Bagaimana dengan hasil pemeriksaannya? Saya tidak tau pasti, tapi sudah pasti saya pesimis, toh ending-nya jurus itu-itu saja yang digunakan. Segelintir orang saja yang ditetapkan sebagai pelaku dan anggaran dana akan dipotong kedepannya. Lagi-lagi masyarakat yang dirugikan.
Umur kabupaten ini baru 14 tahun berdiri, hasil pemekaran daerah yang diharapkan menjadi solusi terhadap pelayanan publik yang lebih baik, tenyata belum berbuah hasil. Baik pembangunan infrasruktur dan pelayanan publik masih belum maksimal. Wajar saja, karena memang kondisi akses, medan, dan luasnya daerah otonomi. Belum ada jalan penghubung antar kabupaten, akses satu-satunya menuju ibu kota kabupaten hanya menggunakan kapal menyusuri Sungai Mamberamo. Apalagi akses menuju kampung (desa) atau distrik (kecamatan), semua serba menggunakan speedboat menyusuri sungai. Belum lagi berbicara tentang medan yang bervariasi mulai dari pesisir hingga pegunungan pun ada, yang membentang dengan luas daerah lebih luas dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun akan menjadi tidak wajar ketika hanya segelintir orang saja yang menikmati buah dari pembentukan kabupaten ini, karena adanya dugaan korupsi dan penyelewengan anggaran. Ketimpangan semakin menjadi, konflik sosial sudah pasti terjadi. Masih ingat mantan bupati yang melakukan korupsi Dana Covid-19, setelah diselidiki motifnya ternyata hasil korupsi hendak digunakan untuk mencalonkan kembali dirinya di pemilu tahun 2021. Tak tau malu.
Akhir Bulan September 2021 lalu bupati baru naik jabatan, Bapak John Tabo, mantan Bupati Kabupaten Tolikara. Harapan baru muncul, setidaknya dari penuturan mayoritas warga, bupati baru ini mempunyai track record yang bagus selama menjabat Bupati Tolikara. Menurut opini saya ibaratnya beliau sedang mencuci piring kotor, hasil kacaunya pemerintahan daerah periode sebelumnya. “Cuci piring” serta dalam rangka memenuhi janji politiknya, tiga bulan dipenghujung tahun 2021 menjadi hari-hari sibuk bagi beliau Saking sibuknya, selama dua bulan kami tidak pernah berhasil menemui beliau. Padahal besar sekali harapan kami untuk menemui beliau, agar siapa tau kegiatan survai kami bisa dibantu pemerintah daerah. Walapun kecil kemungkinan karena kondisi keungan pemerintah daerah yang tidak baik-baik saja.
Selengkapnya; https://medium.com/@billyyansa/bbm-kemiskinan-tersruktur-b917e396aaef