Anim Ha, begitulah Suku Marind menjelaskan diri mereka. Nama yang selalu melekat pada mereka yang memiliki arti “Manusia Sejati”. Hidup tersebar secara berkelompok dari Pulau Kimaam/Yos Sudarso di Barat Daya Papua, hingga Sota di ujung timur Indonesia. Sebutan “Manusia Sejati” yang mereka agungkan nampaknya bukan bualan belaka. Bagaimana tidak, hidup dan bertahan di alam Papua yang jauh berbeda dengan alam Indonesia lainnya telah mereka jalani dari zaman tete nene moyang (penyebutan kakek dan nenek moyang dalam Bahasa Marind). Menaklukan rawa, bersahabat dengan malaria, berburu dan meramu segala sumber daya alam papua merupakan segelintir bukti bahwa Marind memang seorang “Anim Ha”. Tetapi akan sangat dangkal jika kita memahami kesejatian Marind hanya dari unsur ragawi mereka.
Bagaimana Suku Marind memandang hubungan mereka dengan alam serta organisasi/cara-cara mereka memperlakukan alam semakin mempertegas kesejatian mereka sebagai manusia. Mereka menganggap tanah adalah ibu mereka. Ibu yang selalu merawat anaknya dengan memberikan sumber-sumber penghidupan mulai dari sagu, umbi-umbian, kelapa, binatang-binatang buruan, serta hutan yang menjadi rumah untuk itu semua. Dari cara pandang mereka terhadap alam, muncul cara-cara bagaimana mereka memperlakukan alam yang dibungkus dalam aturan-aturan adat. Maka menjadi hal yang logis orang-orang Marind menerapkan adat yang menjaga kelestarian alamnya sebagaimana seorang anak manusia yang dirawat oleh ibunya lalu tumbuh besar dan berbalik menjaga ibunya. Segitiga relasi antara ketiga unsur tersebut yang terus menjaga keseimbangan hidup orang-orang Marind dan menjadikannya layak sebagai seorang “Anim Ha”.
Kembali jauh ke belakang ke awal tahun 1900-an, armada Belanda sedang berusaha keras untuk memperluas ekspansi mereka ke Papua Selatan. Disaat bagian lain dari Papua sudah lebih dulu didatangi pendatang baik dari Kerajaan Tidore maupun Belanda di daerah Manokwari, Sorong, serta daerah pesisir barat lainnya di akhir tahun 1800-an, Papua bagian selatan masih sulit untuk ditembus oleh pendatang-pendatang tersebut. Alasan utamanya bukan karena ombak laut selatan Papua yang terkenal ekstrim atau rawa yang terbentang sepanjang selatan Papua. Tetapi “keganasan” suku asli sana yang terus menelan korban para pendatang yang mencoba masuk ke tanah Marind. Tak heran saat itu daerah selatan Papua dijuluki sebagai “Devil’s Area” dan orang-orang asli sana disebut sebagai suku “Head Hunters”. Barulah ditahun 1910-an misionaris gereja Belanda berhasil masuk dan mendekati orang-orang Marind.
Apa yang terjadi 1 abad kemudian ternyata berbeda jauh dengan kondisi di saat itu. Merauke yang menjadi pusat keramaian Papua Selatan kini dihuni 60% pendatang dan hanya tinggal 40% orang asli Papua. Melalui program transmigrasi pada zaman Presiden Soeharto, orang-orang dari belahan Indonesia lain mulai berdatangan ke Papua Selatan. Tanah-tanah orang Marind mulai dibagi kepada para transmigran untuk dijadikan sawah, kebun, serta pemukiman. Walau terpusat di beberapa daerah seperti Kurik, Muting, Jaegebob, serta Tanah Miring, tetapi pendatang-pendatang tersebut dapat ditemukan di seluruh distrik di Merauke. Sektor-sektor yang dikuasai pendatang pun dapat dipetakan. Pengolahan lahan produktif seperti sawah dan kebun didominasi oleh pendatang dari Jawa. Sektor kelautan didominasi oleh nelayan-nelayan dari Makasaar. Sementara kuliner yang dijual di pusat Merauke beragam mulai dari makanan khas Jawa, Sunda, serta Makasaar. Pemandangan sosial kehidupan Merauke tersebut sangat lumrah menimbulkan pertanyaan bagi para pengunjung yang baru datang “kemana perginya orang Marind?”.
Fenomena yang sama mulai muncul di kampung-kampung yang jaraknya bisa melebihi 200 km dari Kota Merauke. Sebutlah Distrik Kimaam yang terletak di pulau tersendiri. Sebelum ada pesawat, untuk menuju kesana para pendatang harus melalui perjalanan 17 -20 jam dari Merauke jika menggunakan kapal laut. Atau jika orang tersebut tidak kuat melalui perjalanan laut, Kimaam dapat dijangkau dengan menempuh perjalanan darat dari Merauke menggunakan motor dengan menyeberangi 4 Kali dan 1 Selat serta melalui jalan berlumpur. Berbeda dengan Merauke, di pusat Distrik Kimaam kita akan mudah bertemu dengan orang asli sana. Tetapi hal unik yang akan ditemui adalah roda-roda perekonomian didominasi oleh para pendatang. Kios-kios yang menjual bahan pokok sehari-hari, warung makan, serta depot BBM dimiliki oleh para pendatang baik warga biasa maupun guru, polisi, serta TNI yang bertugas di sana. Tidak ada sama sekali orang asli Kimaam yang mengikuti aktivitas ekonomi yang dilakukan para pendatang tersebut.
Lalu apa yang dilakukan oleh orang Marind di tanahnya sendiri? Mereka melakukan apa yang sudah menjadi pekerjaan moyang mereka. Berburu ke hutan, menangkap ikan di rawa hingga selat, serta mengambil hasil tumbuh-tumbuhan. Hanya saja yang berbeda kini mereka melakukan itu semua bukan untuk konsumsi langsung. Mereka menjual hasil-hasil alam tersebut ke para pengepul untuk mendapatkan uang yang kemudian mereka belikan beras serta bahan makanan yang bukan berasal dari tanah mereka. Pola konsumsi serta hidup mereka mulai bergeser. Sagu kini bukan lagi makanan pokok mereka, hanya disajikan pada saat acara-acara besar adat. Transmigrasi, revolusi hijau serta program lainnya yang membawa para pendatang beserta beras dan makanan baru lainnya mengubah cara hidup mereka. Kini orang Marind lebih memilih nasi serta mie instan dibandingkan sagu atau umbi-umbian. Pembangunan ala “Jawa” yang terjadi sedikit demi sedikit melunturkan budaya-budaya orang Marind.
Pembangunan ala “Jawa” tersebut terus dilanjutkan di tanah Marind. Program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang dicanangkan Presiden SBY pada tahun 2010 dan dilanjutkan Presiden Jokowi hingga kini telah “menghibahkan” lebih dari 2,5 juta hektar lahan di Merauke kepada perusahaan untuk dijadikan lumbung pangan dan bio energi seperti sawah dan perkebunan sawit. Lahan tersebut melebihi setengah wilayah Kabupaten Merauke dan lebih dari 2 juta hektar di antaranya berada di kawasan hutan. Perubahan tutupan lahan secara masif itu jelas akan menghilangkan sumber-sumber penghidupan orang-orang Marind. Dusun-dusun sagu yang sekali dipangkur dapat memenuhi kebutuhan 1 keluarga selama 6 bulan kini berubah menjadi sawah tadah hujan yang hanya dapat dipanen 1 tahun 1 kali. Kelapa-kelapa mereka kini berubah menjadi sawit yang manfaatnya tidak mereka rasakan. Pembangunan ala “Jawa” mengganggu keseimbangan dari segitiga relasi ketiga unsur orang Marind. Perusahaan-perusahaan menguasai dan mengubah alam mereka, adat-adat dan cara hidup mulai mereka tinggalkan, dan eksistensi dari orang Marind mulai tersisihkan di tanah mereka sendiri.
Belum lagi kita membicarakan bantuan-bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah yang sering tidak tepat sasaran. Contoh paling nyata adalah dana desa yang dikucurkan hingga milyaran rupiah per tahun untuk tiap desanya. Bantuan yang dicairkan dalam bentuk uang tunai tersebut sering kali langsung dibagi rata ke setiap kepala keluarga dan akhirnya digunakan untuk aktivitas konsumtif yang tidak wajar karena pola hidup mereka telah berubah seperti yang sebelumnya dijelaskan. Contoh lainnya adalah pendidikan formal yang diterapkan untuk orang-orang Marind. Jangan dulu berbicara kesetaraan fasilitas pendidikan dengan sekolah-sekolah di Jawa. Gambaran pendidikan di kampung-kampung orang Marind adalah satu bangunan SD tanpa bangku dan tanpa guru. Guru hanya terdaftar sebagai PNS tapi tak pernah hadir dan bertemu dengan anak-anak di kampung. Untuk melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA, anak-anak harus jauh pergi ke pusat distrik menggunakan speedboat dan akhirnya menjalani pendidikan tanpa dampingan keluarga.
Sekalipun berandai-andai kita mencapai kondisi dimana fasilitas pendidikan untuk orang marind sudah memadai, anak-anak tidak perlu menempuh jarak jauh untuk sekolah, dan guru-guru benar menjalankan tugasnya di kampung-kampung, kita harus berpikir ulang apakah pendidikan formal yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan orang-orang Marind. Atau jangan-jangan pendidikan formal yang selama ini kita anggap solusilah yang mengubah pola pikir orang Marind dan mengganggu keseimbangan segitiga relasi orang Marind. Mengenalkan orang Marind ke perabadan dan kebudayaan yang mereka sebut “maju”. Membuat orang Marind berorientasi pada tujuan-tujuan ekonomi serta pembangunan ala “Jawa” dan mengabaikan tanah serta alam yang merupakan “mama” mereka.
Kehadiran negara bagaikan messiah complex, membantu tanpa memahami apa sebenarnya yang dibutuhkan orang Marind. Menganggap peradaban dan budaya Marind tertinggal jauh dan memaksakan pembangunan ala “Jawa” padahal kita pun belum bersepakat, kehidupan seperti apa yang disebut maju dan makmur? Seperti apa yang melatar belakangi tidak ada satu orang Marind pun yang mengikuti jejak para pendatang untuk membuka kios atau menjadi juragan. Karena pada dasarnya, orang-orang Marind tidak mengenal konsep kekayaan pribadi. Cara hidup orang-orang Marind bukan memupuk aset sebanyak-banyaknya dan menganggap kekayaan pribadi adalah kemakmuran. Kemakmuran hidup bagi mereka adalah mereka bisa terus hidup dengan mamanya. Memangkur di dusun-dusun sagu yang tak pernah habis, berburu rusa di hutan-hutan adat yang rimbun, membagi setiap jengkal tanah Papua Selatan kepada setiap marga tanpa ada pihak luar yang menguasai. Karena saat mama malind su hilang, bagaimana sang Anim Ha dapat bertahan?