Saya tidak pernah membayangkan bahwa si anak penyuka gunung akan hidup cukup lama di pesisir. Pesisir yang identik dengan pulau, pantai dan laut. Dari dulu jujurly, saya kurang menyukai destinasi wisata berupa pantai. Rasanya panas dan airnya pun asin. Namun pada akhirnya saya jadi termakan omongan saya sendiri.
Rencananya saya akan tinggal dan mendiami suatu desa bernama desa Kondono yang berada di Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. InsyaAllah dari bulan Januari 2022 hingga November 2022. Any way, dari lima desa yang belum tersedia PLTS, saya tidak tau mengapa saya memilih desa Kondono. Akan tetapi saya selalu berseloroh kalau nama ‘Kondono’ dalam bahasa jawa artinya ‘suruh kesana’ (diminta pergi kesana). Hahaha.
Ketika melihat peta, tampak bahwa akses ke desa ini bisa berupa moda transportasi darat, akan tetapi tak disangka bahwa satu-satunya akses kesana harus menggunakan kapal kayu selama empat jam dari pelabuhan batu di Kendari.
Selama saya disini, tentu akan lebih akrab dengan pantai serta laut. Dimana satu-satunya tempat ada jaringan telepon berada di pantai. Pantai Sangi-sangi atau orang lokal disini lebih sering menyebutnya Wia-wia, sekitar 4KM jaraknya dari Kondono dengan melalui jalan berbatu dan berlumpur.
Potensi alam desa Kondono sangat luar biasa. Ada pala, cengkeh, kopra dan kacang mete. Sebab desa dikelilingi juga oleh hutan. Selain itu hasil laut juga melimpah. Hampir sehari dua kali, penjual ikan lewat menjajakan ikan secara keliling. Ikan segar yang saat dimakan terasa manis dan lezat.
Kebutuhan listrik di desa masih disuplai dari mesin diesel berbahan solar yang menyala selama 6 jam/hari. Saya jadi teringat pada saat datang ke PLN Kendari, pihak PLN mengatakan bahwa selama lima tahun ke depan tidak akan dibangun jaringan listrik apabila pihak pemerintah kabupaten tidak membuka akses jalan. Padahal kita tau bahwa listrik merupakan tulang punggung pendidikan dan ekonomi dari kehidupan. Maka salah satunya untuk memenuhi kebutuhan listrik dari energi baru terbarukan dengan PLTS terpusat/komunal.
Saya melihat dan merasakan masyarakat disini menjalani hari-harinya dengan tabah. Meskipun akses serba terbatas akan tetapi mereka betah tinggal disini. Saya jadi ingat salah satu gurauan bapak kepala desa ketika saya bertanya apakah arti Laonti. Beliau menjawab ‘Lama orang tinggal’ sambil terkekeh. Kami pun tertawa bersama.
Ditulis oleh Hapsari Damayanti di desa Kondono