Selama beberapa hari terakhir, aku terus mengabari bahwa tidak lama lagi akan pergi dari pulau. Warga menanyakan dan meminta agar aku memberi tahu jika sudah H-seminggu, agar tidak melaut dan dapat mengantarkan kepergian aku. Semakin mendekati hari kepergian, semakin berat kaki melangkah. Sampai mereka bilang “dicki nanti balik lagi kesini, jadi kades”. Kalimat ringan yang bermakna banyak bagiku.
Semakin mendekati kepulangan, mereka semakin aware. Hingga akhirnya pemuda-pemudi menanayakan, aku belum pernah makan apa di pulau ini, akupun menjawab sagu. Tidak lama, malam itu kami langsung melaksanakan perta kecil-kecilan. Bermodalkan hasil tangkapan ikan 2 ekor, kami membakarnya di pantai. Mereka bercerita dengan bahasa yang masih belum kumengerti dengan fasih. Setelah ikan selesai dibakar, lanjut mereka mencari sagu dan segera membuat sebuah masakan olahan dari sagu.
Mereka menyebut makanan tersebut sebagai Papi. Mungkin makanan tersebut akan lebih familiar dikenal dengan salono. Dimasak diatas wajan besar, bersama dengan kelapa parut. Disangrai kering hingga berubah warna. Didampingi dengan rica dabu dabu yang dibuat saat itu juga. Bercerita sembari memasak. Setelah semua siap disajikan, kamipun makan diatas saung. Bermodalkan lampu LTSHE sebagai penerangan. Kami makan dan menikmati hasil masakan kami sendiri. Bercerita dan terus bercerita sambil tertawa, hingga salah satu dari kami mengucapakn “paling enggak kita pernah masak-masak malam mingguan bareng”. Setelah kalimat itu keluar, moment of silence pun terjadi… terdiam dan bingung harus merespon gimana. Tidak lama suasana pecah karna salah satu dari kami memecahkan suasana dan tertawa. Menghabiskan malam tersebut dibawah bulan purnama yang sangat terang. Hal tersebut akan jadi malam minggu terakhirku yang sangat indah di pulau ini. Terima kasih, orang baik.