Pembangunan demi kesejahteraan lagi-lagi dijadikan alasan untuk menyekat-nyekat Papua. Inilah yang sedang terjadi seiring dengan disahkannya RUU tentang pembentukan Daerah Operasional Baru (DOB) Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan oleh DPR RI pada 30 Juni 2022. Tujuan pemekaran tersebut didasarkan pada pasal 93 Peraturan Pemerintah Nomor 106 tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksana Otonomi Khusus Provinsi Papua yaitu untuk mempercepat pemerataan pembangunan, mempercepat kesejahteraan, dan mengangkat harkat martabat masyarakat. Namun sepertinya perlu kita tanyakan kembali, benarkah pembangunan berkorelasi dengan kesejahteraan dan peningkatan harkat martabat masyarakat? Pembangunan seperti apa yang dimaksud dan kedepannya akan dilakukan oleh negara di Tanah Papua? Untuk menjawab hal tersebut mari kita lihat bagaimana praktik skala kecil dari “pembangunan” ala negara di Distrik Padua, Kabupaten Merauke, yang kini menjadi Ibukota Papua Selatan.
Distrik Padua merupakan hasil pemekaran dari Distrik Ilwayab berdasarkan Perda Kabupaten Merauke Nomor 14 tahun 2018. Berdasarkan perda tersebut distrik ini terdiri dari 5 Kampung yang berada di bagian Timur Laut Pulau Kimaam yaitu Kampung Padua, Sigad, Bamol 1, Bamol 2, serta Sabudom. Empat tahun berselang dari penetapan perda tersebut masyarakat keempat kampung belum merasakan perubahan baik peningkatan pelayanan publik maupun kesejahteraan. Kampung Padua dan Sigad yang sebelumnya merupakan bagian dari Distrik Ilwayab masih mengurusi urusan administrasinya di Wanam yang berada di pulau besar. Masyarakat Bamol 1 dan Bamol 2 yang sebelumnya merupakan bagian dari Distrik Tabonji masih menunggu posyandu keliling dari puskesmas Tabonji yang dipisahkan beberapa muara kali. Anak-anak Kampung Sabudom yang sebelumnya merupakan bagian dari Distrik Kimaam masih harus bersekolah menempuh ombak Selat Mariana menuju Kampung Kimaam. Cita-cita peningkatan kesejahteraan lewat pemekaran distrik yang telah berumur empat tahun belum juga dirasakan oleh masyarakat.
Hingga kini Pemerintah Kabupaten Merauke masih disibukkan dengan urusan pelepasan area pemerintahan distrik. Dalam pengurusan hal itupun terjadi ketidakselarasan antar Pemerintah Kabupaten, DPRD dan BPN Merauke. Masyarakat yang tanahnya akan digunakan sebagai wilayah pusat pemerintahan distrik membutuhkan kejelasan ukuran persil yang dibutuhkan. Masyarakat mengaku sempat dihubungi oleh BPN Merauke untuk menyiapkan tanah seluas 200x100 meter (2 hektar). Akan tetapi salah seorang anggota DPRD Kabupaten Merauke memberikan informasi lain bahwa dibutuhkan tanah seluas 300x300 meter (9 hektar). Sementara Bupati belum juga memberikan kejelasan hingga masyarakat sendiri yang harus menyurat kepada beliau dan belum juga ada tanggapan hingga sekarang.
Urusan tanah ini bukan soal yang sepele apalagi untuk masyarakat Kampung Padua yang menganggap tanah seakan-akan mama atau ibu kandung mereka. Pelepasan tanah tidak bis dilakukan sembarangan dan perlu melalui proses adat yang panjang. Ketidakjelasan ini menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Luasan tanah akan menentukan marga mana yang memiliki hak ulayat pada wilayah pusat pemerintahan distrik yang akan dibangun. Akhirnya perdebatan antarmarga yang sebenarnya tidak perlu terjadi kini sulit dibendung. Belum lagi jika kita menganalisis rencana penggunaan tanah seluas 2 atau 9 hektar seperti yang diminta oleh pemerintah. Tanah seluas itu hanya akan memuat tidak lebih dari 5 bangunan fasilitas umum. Padahal kebutuhan fasilitas umum suatu distrik jelas akan lebih dari itu. Mulai dari kantor distrik, koramil, polsek, puskesmas, sekolah, tempat peribadatan, belum lagi kita menghitung area perumahan dinas. Kejelasan luas tanah yang dibutuhkan sangat diperlukan di awal pembangunan supaya tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat dimana Pemerintah Distrik nantinya menggunakan tanah melebihi kesepakatan.
Diskusi masyarakat terkait pemekaran Distrik Padua (foto diambil oleh penulis pada 29 Juni 2022)
Permasalahan setelah empat tahun pemekaran Distrik Padua ditetapkan akan menjadi jelas jika kita mendalami bagaimana proses distrik ini akhirnya dibentuk. Kampung Padua yang merupakan ibukota distrik adalah bagian dari sub suku Marind Bob (Rawa) yaitu rumpun Injiwanggu. Injiwanggu adalah salah satu rumpun Marind Bob yang bermukim di bagian Timur Laut Pulau Kimaam. Masyarakat Injiwanggu yang dahulu bermukim di atas rawa kini menempati empat Kampung yaitu Kampung Padua, Sigad, Sabudom, dan Teri. Masyarakat keempat kampung tersebut merupakan satu rumpun yang terdiri dari tiga belas marga dan memiliki hak ulayat masing-masing. Ditetapkannya pemekaran Distrik Padua membuat Kampung Teri terpisah sendiri dari tiga saudaranya. Hal ini membuat ketidakselarasan antara batas wilayah administrasi distrik dengan wilayah adat. Ditambah hadirnya kampung Bamol 1 dan Bamol 2 membuat masalah tanah adat ini semakin pelik. Dari hal ini jelas pemerintah membuat keputusan tanpa mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat setempat. Beberapa masyarakat Kampung Padua kini masih mempermasalahkan saudaranya di Kampung Teri yang tidak menjadi bagian dari Distrik Padua dan justru Kampung Bamol 1 dan Bamol 2 yang dimasukan. Mereka menganggap ini akan menjadi pintu bagi masyarakat Bamol untuk menerobos hak ulayat Injiwanggu. Lucunya jika kita melihat Peta Administrasi Distrik yang terdapat pada lampiran Perda Kabupaten Merauke Nomor 14 tahun 2018, terdapat kejanggalan batas wilayah distrik itu sendiri.
Peta Administrasi Distrik Padua (Sumber : Perda Kabupaten Merauke Nomor 14 tahun 2018)
Pada peta tersebut diperlihatkan wilayah Distrik Padua merupakan area berwarna merah muda dan kampung-kampung yang diberi symbol titik merah. Ternyata berdasarkan batas wilayah tersebut, justru Kampung Teri berada di dalam wilayah Distrik Padua dan Kampung Sabudom tidak termasuk di dalamnya. Hal ini menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam menentukan wilayah administrasi distrik dan penentuan kampung yang menjadi bagian di Distrik Padua. Peta tersebut menunjukkan penentuan batas wilayah Distrik Padua tidak melibatkan ahli pemetaan dan hanya membagi wilayah secara asal. Tidak berhenti disitu, ketidakseriusan penentuan batas wilayah ini ternyata merupakan hal yang telah berlangsung lama seperti yang dapat kita lihat pada penentuan batas wilayah Distrik Ilwayab. Distrik Ilwayab resmi dibentuk melalui Perda Kabupaten Merauke Nomor 2 tahun 2006. Pada perda tersebut juga terdapat lampiran peta administrasi Distrik Ilwayab serta beberapa distrik lainnya yang juga didirikan.
Peta Administrasi Distrik Ilwayab (Sumber: Perda Kabupaten Merauke Nomor 2 tahun 2006)
Peta ini bahkan patut ditanyakan ulang “ke-petaan-nya”, Apalagi jika kita melihat pembagian wilayah yang hanya dibuat secara garis lurus tanpa mengikuti batas wilayah adat atau bahkan sekedar kenampakan alam. Hal ini mengingatkan kita pada pembagian wilayah khas kolonialisme antara Papua yang menjadi bagian dari Indonesia dengan Papua Nugini yang hanya menarik garis lurus, membagi saudara satu suku diantaranya Suku Marind di Selatan Papua. Kini mereka akan dianggap “penerobos wilayah negara” jika mau mengunjungi saudaranya, di tanah mereka sendiri.
Pemekaran Distrik Padua ini menjadi gambaran kecil bagaimana pembangunan ala negara yang diterapkan di Papua. Perencanaan yang tidak melibatkan dan mempertimbangkan sosial budaya masyarakat masih menjadi ciri messiah complex bernama negara. Kacamata developmentalisme yang digunakan negara menghasilkan kesimpulan bahwa Papua masih tertinggal dan perlu mereka bantu lewat “pembangunan”. Sejauh yang telah dilakukan, pembangunan tersebut hanya sekedar pembangunan fisik yang justru memutus akses dan pengetahuan masyarakat papua akan sumber daya alamnya. Investasi yang dikucurkan ke Papua seakan-akan membagi-bagi tanah masyarakat kepada investor dan menghasilkan keuntungan bagi mereka, bukannya kesejahteraan masyarakat seperti yang terjadi di Kampung Zanegi dan Bu Epe akibat MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Merauke. Belum lagi berdirinya provinsi baru akan membuka kesempatan-kesempatan opresi negara kepada rakyatnya sendiri. Pengiriman militer dan kepolisian akan semakin banyak yang justru selama ini lebih banyak membuat masyarakat papua teropresi seperti yang dirasakan Steven Yadohamang, penyandang disabilitas yang diinjak oleh 2 aparat TNI AU di Merauke tahun 2021. Tidak digubrisnya penolakan-penolakan yang dilakukan oleh masyarakat papua membuat prasangka-prasangka tersebut wajar terjadi. Cita-cita pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan bukankah kini menjadi wajar dipertanyakan?