“Hatur nuhun”
“Thank You”
“Matur suwun”
“Syukron”
“Mauliate”
Kata-kata tersebut memiliki arti yang sama yaitu terimakasih. Kata yang sudah lumrah kita ucapkan untuk mengekspresikan rasa syukur setelah menerima kebaikan dari orang lain. Saat kita hidup di daerah lain yang memiliki pebedaan budaya serta Bahasa dari tempat asal kita, salah satu kata yang “wajib” kita pelajari adalah terima kasih dalam Bahasa daerah tersebut. Kata tersebut menjadi syarat minimal untuk balas budi saat kita menerima kebaikan atau pertolongan dari seseorang. Akan tetapi, bagaimana jadinya saat kita tinggal di suatu daerah baru, diterima dengan ramah dan mendapatkan benyak kebaikan dari masyarakat disana, tapi budaya daerah mereka tidak mengenal kata “terima kasih”.
Sebelum jauh kesana, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa “Papua” bukanlah etnis tunggal yang seluruh budaya serta bahasanya sama. Bahkan salah satu suku di Papua yang berlokasi di Papua bagian selatan, yaitu Suku Marind, memiliki puluhan rumpun yang memiliki bahasa daerah masing-masing. Terdapat 3 sub Suku Marind yaitu Marind Bob (Rawa), Deq (Darat), dan Pantai. Masing-masing sub suku tersebut terbagi lagi menjadi beberapa rumpun salah satunya pada Marind Bob tedapat rumpun Cerunde yang menetap di empat kampung yaitu Kampung Padua, Sigad, Sabudom, dan Teri. Hampir 3 bulan saya tinggal di Kampung Padua, saya mulai mempelajari budaya dari masyarakat disini. Mulai dari cara hidup sehari-hari, acara-acara adat, hingga bahasa daerah mereka. Kata pertama yang saya pelajari adalah “Muye” yang artinya makan. Sementara minum dalam Bahasa Cerunde yaitu “Cu muye” dimana kata “Cu” memiliki arti air. Itu berarti jika kita artikan kata perkata, minum dalam bahasa mereka artinya adalah makan air. Terdengar tidak penting, namun jika kita pahami lebih dalam terdapat hal-hal menarik yang akan membuat kita semakin paham cara berpikir mereka. Orang-orang marind berpikir jika mereka telah mengonsumsi air, maka mereka telah melakukan aktivitas “makan”. Contohnya air kelapa yang banyak terdapat di kampung mereka, jika mereka telah meminum air tersebut, maka mereka menganggap mereka telah makan dan tidak perlu lagi memakan-makanan berat untuk beberapa waktu ke depan. Hal yang sama juga terdapat di Kampung Tabonji yang berbatasan dengan Kampung Padua tetapi sudah memiliki bahasa daerah yang berbeda. Dalam bahasa mereka, makan adalah “Mara” dan minum adalah “Ra Mara”, dan ya, “Ra” dalam bahasa mereka adalah air.
Banyak sekali hal-hal unik yang saya temukan setelah saya mempelajari bahasa mereka. Saya dapat mengetahui apakah suatu hal yang ada di Kampung Padua ini merupakan suatu yang asli berasal dari kampung ini atau sesuatu yang baru datang dari daerah lain dengan menanyakan apa kata tersebut dalam bahasa mereka. Contohnya adalah rusa yang banyak terdapat di papua bagian selatan, mereka tidak memiliki kata dalam bahasa daerah untuk menyebut rusa. Setelah saya cari tahu, memang rusa ini merupakan binatang yang dibawa orang-orang Belanda pada masa-masa awal mereka datang ke papua. Berbeda dengan buaya yang mereka sebut “Kramu”, anjing yang disebut “Nuwe”, dan ular yang disebut “Mahudo”. Binatang-binatang tersebut memliki sebutan dalam bahasa mereka karena memang merupakan binatang endemik daerah mereka dan mereka sudah mengenal binatang tersebut dari jaman tete nene moyang. Itu juga berlaku untuk hal-hal selain binatang seperti barang-barang, kegiatan, serta ekspresi dari perasaan. Salah satu temuan saya yang paling unik adalah saat saya mencoba mengucapkan terimakasih kepada orang yang telah membantu saya. Agar terlihat lebih akrab, saya mau mengucapkan terimakasih dalam bahasa mereka. Saya pun bertanya kepada orang tersebut apa bahasa daerah mereka untuk “Terimakasih”. Saat mereka ditanya hal tersebut, mereka terdiam sejenak, lalu tersenyum dan tertawa-tawa tipis. Saya yang bingung dan tidak mendapat jawaban bertanya sekali lagi apa bahasa daerah mereka untuk “Terimakasih”. Dengan masih sedikit tertawa mereka menjawab “Tidak tahu, terimakasih saja”. Saya yang tidak percaya bahwa tidak ada kata terimakasih dalam bahasa mereka memastikan hal tersebut ke beberapa orang lainnya. Jawaban yang saya dapatkan sama, hingga akhirnya saya percaya hal tersebut setelah menanyakannya ke Ketua Adat Kampung Padua.
Setelah saya dibuat bingung karena untuk pertama kalinya saya menemukan suatu bahasa yang tidak memiliki kata terimakasih, saya mencoba berpikir ulang dan menghubungkan temuan tersebut dengan cara hidup mereka. Memang benar setelah saya mengamati mereka dalam 3 bulan ini, saya jarang melihat mereka saling berucap terimakasih jika mereka saling menolong atau bekerja sama melakukan sesuatu. Tetapi hal tersebut tidak berlaku jika dalam kondisi formal seperti kegiatan resmi contohnya pemberian bantuan dari pemerintah, dalam kata sambutan perangkat kampung, mereka pasti mengucapkan terimakasih. Hal tersebut terjadi hanya dalam kondisi aktivitas sehari-hari karena kebiasaan dalam bahasa daerah mereka tidak mengucapkan “terimakasih” dan sepertinya sudah tertanam dalam alam bawah sadar mereka. Apakah itu berarti orang-orang Marind khususnya Cerunde merupakan orang-orang yang kurang ajar? Tentunya tidak! Mereka merupakan masyarakat yang sangat menerapkan nilai-nilai sosialisme. Contoh kecilnya dapat dilihat bagaimana mereka selalu membagi suatu hal yang mereka miliki ke semua orang di kampung. Pernah suatu hari seseorang memotong babi piara karena mati mendadak. Orang tersebut tidak memakan babi tersebut sendiri melainkan memotongnya hingga hanya sebesar 3 jari dan membagikannya keseluruh orang di kampung. Begitu juga saat ada pemberian bantuan dana dari pemerintah daerah. Bantuan tersebut hanya diberikan ke beberapa kepala keluarga, akhirnya perangkat kampung memusyawarahkan hal tersebut dengan maksud membaginya secara rata ke setiap kepala keluarga. Setelah dihitung-hitung, jika dibagi rata setiap keluarga hanya mendapat kurang dari 10 ribu rupiah. Akhirnya mereka memutuskan untuk menolak bantuan tersebut ketimbang manfaatnya tidak dirasakan setiap orang. Berbagi sudah menjadi kebiasaan mereka yang selalu mereka terapkan. Bahkan dalam konsep kepemilikan tanah pun mereka tidak mengenal kepemilikan pribadi. Status tanah mereka adalah milik marga dan mereka dapat menggunakannya bersama-sama. Hanya saja setelah konsep kepemilikan tanah dan rumah dari negara dikenalkan kepada mereka, akhirnya mereka membagi tanah kintal (perkampungan) untuk tiap kepala keluarga tetapi tetap secara merata, tidak ada 1 kepala keluarga yang memiliki luas tanah lebih. Memang dengan pola tersebut sering kali timbul masalah saat ada orang yang memiliki pengahasilan lebih karena masyarakat telah mengenal sistem uang, pekerjaan formal, serta bisnis. Tetapi jika kita kembali ke persoalan apakah dengan mereka yang tidak mengenal kata “terimakasih” berarti mereka adalah masyarakat yang kurang ajar? Justru mereka sudah sangat terbiasa dengan berbagi dan tolong menolong sehingga hal tersebut tidak lagi harus “dirayakan” dengan ucapan sacral “Terimakasih”.