Pernah dengar kan strata saat masih belajar dulu. Mata pelajaran sosiologi kalau tidak salah. Saya masih ingat dan cukup memahami konsep ini. Ada yang namanya Stara sosial. Strata dibagi dua yaitu strata tertutup dan strata terbuka. Sebelumnya kita pahami dulu makan strata. Strata adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal.
Dalam strata masyarakat dibedakan menjadi tiga tingkatan: atas, menengah, dan bawah. Tingkatan ini yang kemudian membedakan status masyarakat satu sama lain. Salah satu dampak positif stratifikasi sosial yaitu orang-orang akan berusaha untuk berprestasi atau berusaha untuk maju karena adanya kesempatan untuk berpindah strata. Kesempatan ini mendorong orang untuk mau bersaing, dan bekerja keras agar dapat naik ke strata atas.
Tapi kali ini kita bahas Strata yang tertutup. Sistem kasta adalah sistem stratifikasi tertutup dimana orang sama sekali tidak dapat mengubah status sosial mereka. Sistem kasta adalah sistem di mana orang dilahirkan ke dalam status sosial mereka dan akan tetap berada di dalamnya seumur hidup mereka.
Disinilah perjalan saya dimulai, ditanah Sumba saya merasaka adanya Strata tertutup. Saya bukan hanya melihatnya tapi benar benar merasakan nya. Awalnya saat saya belajar dulu stratifikasi ini hanya ada jaman kerajaan. Di zaman modern seperti ini sistem kasta raja sudah tidak ada. Paling hanya bertahan di keraton keraton seperti solo ataupun Jogja itupun tidak terlalu terlihat.
Saat memasuki tanah Sumba ini saya baru saja menyaksikan nya. Artinya selama ini saya hanya teori dan sekarang saya belajar praktik secara langsung. Saat menginjakan di Sumba saya tidak mengetahui ada Strata tertutup ini saya mengira masyarakat disini sama saja dengan di Jawa. Sampai saya mengunjungi desa pertama saya TAMA dan saya tinggal dengan aparat desa yang tidak bisa saya sebutkan namanya. Semua berjalan biasa saja, sampai dititik saya merasa ada yang aneh
Kondisi rumah biasa saja. Tidak mewah bahkan tergolong rumah yang mau roboh. Aku tidak berfikir kemana-mana saat itu. Sampai saya lihat ibu dan bapak dirumah jarang melakukan aktivitas yang berat. Banyak anak-anak yang mengurus kita saat itu seperti membantu memasak dan mengambil air. Sedangkan pekerjaan berat dilakukan oleh orang dewasa.
Saat itulah saya merasa aneh apalagi anak-anak disitu seperti tidak nyaman dan terpaksa melakukan kegiatan tersebut. Baru saya sadari saat ada seseorang yang mengatakan secara diam diam bahwa aparat desa tersebut punya "HAMBA". hamba tau kan, sama istilahnya seperti budak begitu. Tapi kata-katanya lebih halus. Mereka yang biasa urus kegiatan sehari-hari.
Hamba disini konsepnya sama seperti budak. Pada zaman dahulu kita mendefinisikan budak adalah orang rendah yang banyak disuruh-suruh dan tidak diperhatikan. Namun sepanjang waktu konsep itu berubah. Hamba disini masih disekolah diperhatikan bahkan hingga menikah. Artinya mereka tetap memiliki status hamba hanya saja mereka lebih diperhatikan kesejahteraan nya.
Konsep ini sama seperti kerajaan pada zaman dahulu. Bahkan ibu dari aparat juga menjelaskan konsep hamba raja tersebut tapi dia tidak menceritakan bahwa status dia sendiri adalah raja. Artinya disini kalian harus menghapus konsep raja budak pada zaman dahulu. Seperti raja yang harus berpakaian mahal dan rumah mewah. Bahkan raja disini rumah biasa jadi kita tidak mudah untuk membedakannya. Tapi untuk warga lokal sangat paham mana yang punya sttus raja mana yang bukan.
Konsep raja hamba disini cukup menarik.
Konsepnya sudah tidak terlalu kaku, tapi bukan berarti hamba disini bisa naik Strata menjadi raja. Dalam hal ini hamba yang ada tidak memiliki batasan seperti dalam pendidikan bahkan jika mampu mereka bisa meraih mimpinya misal menjadi dokter seorang hamba juga dibebaskan. Tetapi seorang hamba juga memiliki wewenang mengabdi kepada raja dalam beberapa hal seperti menjaga sawah.
Di tanah Sumba sendiri juga ada tradisi dimana sangat raja meninggal terdapat hamba yang rela untuk dikubur. Hal ini dikarenakan kesetiaan hamba kepada raja. Namun hal ini sudah tidak ada lagi. Kesetiaan seorang hamba bisa ditunjukan dalam semangat kerja di aktivitas sehari-hari. Raja di Sumba juga memiliki tugas untuk melihat kesejahteraan seorang hamba sampe ia dari mulai sekolah sampai menikah.
Biaya menikah seorang hamba juga ditanggung oleh seorang raja. Konsep hamba raja di Sumba masih cukup kental. Beberapa daerah masih memegang konsep hamba dan raja namun banyak juga yang sudah menghilangkan tradisi tersebut. Ada nilai positif dan negatif dari sistem raja hamba di Sumba, namun begitu adat ini sepertinya akan berlangsung cukup panjang mengingat saat kita terlahir beberapa orang sudah ditentukan statusnya sebagai raja atau hamba dan kita tidak bisa memilih.
Jalan yang berat adalah saat kita sebagai hamba. Posisi kita ada dibawah walaupun ada hal positif dimasa sekarang namun seorang hamba tetaplah hamba ia adalah budak yang disuruh dan sampai akhir hidupnya ia akan mendapatkan posisi tersebut.