Siang itu, sambil menatap ke arah jalanan aspal di depan Koramil 1705-04/Moanemani, seorang Danramil berkisah, “Beberapa tahun yang lalu itu belum ada jalan seperti ini. Dulu itu kami harus naik turun gunung, lewat hutan-hutan. Bersama masyarakat kami jalan kaki sama-sama.”
“Wah mobil motor betul-betul belum ada ya pak waktu itu?”
“Jangankan mobil motor, jalannya saja belum ada. Pokoknya yaa jalan kaki saja kemana-mana.” Beliau terkekeh dan antusias melanjutkan ceritanya.
“Dulu itu semua, mama-mama, tete-tete (kakek-kakek), anak-anak, semua tu kami jalan sama-sama lewat hutan.”
Tiba-tiba ia menjeda ceritanya dengan tawa ringan, “baru waktu itu pernah satu waktu kami sedang jalan ditengah hutan tiba-tiba ada seorang mama bilang, ‘bapak sebentar kah, sa mau beranak’ itu saya kaget langsung suruh anggota carikan daun pisang.”
“Mamanya melahirkan disitu pak??” tanyaku khawatir.
“Iyo, setelah daun pisang siap itu, sudah. Dia melahirkan disitu ditemani ada mama-mama juga to waktu itu.”
“Langsung disitu pak beneran? Sendiri?? Terus potong tali pusarnya gimana?” aku masih meyimak dengan kebingungan.
“Potong talinya tu pakai bambu. Iyo, de beranak disitu sebentar dia istirhat, kasih bersih anaknya, lap-lap to, baru (lalu) kasih masuk noken. Tidak lama tu sudah, de bilang ‘bapak mari kita jalan lagi.’ Begitu. Tuhaan mama-mama disini memang.. mereka tu luar biasa sekali. Kalau bawa noken saja tu de ada bawa nutta, kayu bakar, sayur, anak lagi, semua dikasi tumpuk di mereka pu kepala. Salut saya salut dengan mama-mama disini” Danramil ini menggeleng kagum sembari tersenyum.
-------
Di tempat lain, kakak dari temanku disini sedang mengalami kontraksi pra-melahirkan. Dan apa yang dia lakukan? Ambil sekop dan pergi kebun. “Lho?? Bukannya itu kerja berat kak?? Tidak papa kah?”
“Justru itu kalau perempuan disini tu kalau sedang sakit-sakitnya mau melahirkan mereka justru kerja berat supaya sakitnya tidak terasa.”
“Baru waktu itu pulang dari kebun sa ada pinjam korek gas to ke rumahnya untuk kasih nyala api. Selesai kasih nyala api tu langsung saya mau kembalikan koreknya. Itu sebentar saja to. Rumah kami juga dekat saja, jarak berapa rumah itu ko tau to, dit. Itu, waktu sa sampe depan rumah de tu, sa su dengar suara bayi ale... ponakanku su lahir dit. Sebentar saja itu sa pinjam korek. Tidak lama-lama langsung sa kasih kembali. Tuhan, sa datang de su melahirkan. Di dalam tu hanya ada dia dengan suaminya.”
“He?? Kak?? Cepet amaaat. Lah bentar, jadi melahirkan di rumah? kan puskesmas bomomani dekat to. Kenapa tidak kesana??”
“Ah, mereka su biasa itu dit melahirkan sendiri. Mungkin memang sudah biasa begitu. Sudah nyamannya begitu.”
Setelah melahirkan, rehat berapa lama? Ah tidak lama. Besoknya su pergi kebun lagi, tanam-tanam, ambil ubi untuk makan, cari kayu bakar kah, masak, urus anak. Kembali ke aktivitas biasanya sebagai perempuan Papua. Kalau sa tanya, “mama tidak capek kah? Ke kebun pagi sampe sore, jauh lagi, pulang lagi bawa noken berat, sampai owapa kasih nyala api masak lagi, kasih makan anak-anak lagi, baru kalau ada bayi harus urus dia lagi, cuci piring, cuci baju.”
Jawabannya pasti diawali dan diakhiri dengan tawa yang lepas, “Ah su biasa to”
Hhh.. Aku hanya bisa membalas jawabannya dengan senyuman terbaik ku...
Setelah beberapa bulan tinggal di Papua, sungguh melahirkan tanpa bantuan tenaga kesehatan atau bahkan tanpa bantuan siapapun bukanlah hal yang tabu. Potong tali pusar bisa dengan apapun yang ada di sekitar, gunting kah, bambu kah, pisau kah. Tuhan berkati mama dan anak-anak Papua.
“Strength doesn’t come from winning, your struggles develop your strengths. When you go through hardships and decide not to surrender, that is strength.”-Mahatma Gandhi.