“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”-Tan Malaka
Akila (9 tahun) biasa bangun sekitar jam 6 pagi, ritualnya jemur badan di perapian sambil mengumpulkan kesadaran, cuci muka (yang ini masih harus kuberi senyuman manis supaya ia mau jalan), cuci piring, tunggu nutta (ubi) bakar masak, lalu berangkat ke sekolah. Ia berjalan kaki menuju sekolah dengan jarak 1.5 Km dengan perbedaan elevasi sekitar 100 m dari rumah bapak tua (paman) tempatnya tinggal. Sepulang sekolah ia pergi ke kebun, bantu mama ambil ubi untuk makan kami di rumah. Sesampainya di rumah, Akila akan mencuci ubi dan menyapu halaman. Ia juga mencabut rumput liar yang tumbuh di halaman. Menjelang ashar adalah kesempatan kami untuk bermain dan membaca buku, sambil menunggu mama pulang. Sebelumnya ia masih kurang percaya diri saat harus membacakan buku cerita untuk saya dan teman-temannya, alhasil Akila bisa meminta saya melahap hingga 7 buku cerita atau lebih sekali duduk. Beberapa bulan kebelakang, entah dari mana percaya dirinya muncul, ia tiba-tiba mau membaca semua bukunya sendiri. Saya hanya perlu mendengarkan, memperbaiki beberapa ejaan yang salah dan menikmatinya.
Saat mama pulang, saya dan Akila bertugas membersihkan sayuran yang mama bawa dari kebun. Kalau kurang, kami akan memetik idaha (bayam) dan nutaimo (daun ubi jalar) di belakang rumah untuk tambahan sayur kami. Saat malam datang kami akan mengupas bawang merah dan Akila bertugas menumbuk bawang serta rica. Selama proses mama memasak, Akila akan mondar-mandir mengambil piring, mangkok (gelas) dan beberapa alat masak. Ia juga akan mengisi cerek air untuk minum anggota keluarga. Jika menu yang kami makan berisi sayuran yang bapak tua tidak bisa makan, Akila akan pindah ke ruang sebelah (honai laki-laki) untuk memasakkan menu sayur lain untuk bapak tuanya. Kami makan malam dan berbincang menghabiskan malam. Sambil menghangatkan badan setelah makan, Akila biasanya membuat gelang dari benang wol, merajut noken benang, atau membantu mama membuat baju dari serat kayu. Terkadang juga ia menonton film di hp sepupunya. Besok pagi, ia akan bangun dan kembali melakukan kesehariannya. Jika sekolah libur, Akila akan membantu mama di kebun untuk mencabut rumput liar atau memanen sayur dan ubi. Jika ia tinggal di rumah, maka tugasnya adalah fokus melakukan pembersihan area sekitar rumah termasuk membersihkan rumput liar di kebun belakang rumah.
Satu hal yang kuamati, diantara semua aktivitasnya itu ia tidak pernah mengeluh atau memberontak, meskipun adik kecilnya (7 tahun) tidak mau membantunya atau sering kali mengomel saat dimintai bantuan haha. Akila seperti sedang belajar dari ahlinya langsung mengenai tugas dan peran sebagai perempuan Papua. Anak perempuan pertama yang memiliki 6 adik perempuan lainnya ini juga selalu menjadi yang pertama di kelasnya. Ia mendapatkan peringkat pertama selama tiga tahun berturut-turut. Bangganya saya karena predikat juara satunya di sekolah tidak menjauhkannya dari sapu, parang, sekop, pisau dan hakpen, benda yang akrab dengannya sehari-hari. Kalau saya tanya, “Akila, ko tidak capek kah sapu-sapu halaman, cabut rumput, ambil nutta lagi?”. “Capek to” jawabnya. “Baru kenapa tidak kasih tinggal saja?” tanya saya mencari tahu. “Sa bantu mama”, begitu jawabnya singkat. Coba saja ko tanya de berkali-kali, jawabannya akan begitu saja "Sa bantu mama."