Bukan hidup namanya kalau tak ada kejadian aneh-aneh yang tiba-tiba menghampiri. Di tengah-tengah sibuknya mengerjakan Laporan Akhir Patriot Energi serta persiapan untuk meninggalkan kampung live in, tiba-tiba ada berita menghebohkan datang dari distrik tetangga.Pada 29 September, empat orang pekerja jalan tewas dibunuh oleh KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata)/OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kejadiannya di Kampung Meyerga, Distrik Moskona Barat. Kampung lokasi live in ku berada di Moskona Tengah, masih satu wilayah, kalau jalan kaki kurang lebih perlu waktu satu hari. Yah kira-kira kalau naik mobil mungkin tidak lebih dari 8 jam lah.
Kamis malam (29 September) aku masih ke rumah tetangga untuk numpang charge HP di genset, pasalnya listrik kampung memang sedang mati (solar habis). Pukul setengah 10 malam aku masih berani jalan sendirian untuk balik rumah, tanpa rasa khawatir ataupun ketakutan. Begitu tiba di rumah, notifikasi HP tak henti-hentinya berbunyi. Dari kawan-kawan dan kenalan di kota, mengabarkan perkara kejadian di Meyerga dan mewanti-wanti agar aku hati-hati di kampung, beberapa malah langsung menyuruhku untuk segera turun kota. Aku terjaga semalaman setelah memastikan semua pintu dan jendela rumah terkunci. Campuran panik, takut dan ngeri karena tiap notifikasi hp disertai berita-berita dan foto-foto yang mengoyak sisi humanis.
Suasana esok harinya tak kalah mencekam. Seluruh guru memutuskan langsung turun ke kota. Suster dan Paman (perawat) masih bimbang turun atau tinggal di kampung. Sebentar-sebentar memutuskan turun kota, 5 menit kemudian memutuskan tinggal. Begitu terus sampai macam-macam berita berdatangan. Ada yang bilang bahwa pelaku sudah sampai di Merdei (distrik tetangga) sehingga seluruh pendatang di Merdei memutuskan turun kota juga. Ada yang bilang pelaku sudah tiba di Bintuni dan menyebar terror di kota dengan mematikan meteran listrik di rumah-rumah. Pada detik ini yang ku rasa bukan lagi takut, melainkan kesal. Kesal yang tara bisa. Masih banyak hal yang perlu ku selesaikan di kampung, tapi ruang gerakku terbatas karena keselamatanku terancam. Belum lagi jadi susah mencari kendaraan ke kota karena orang-orang pada takut bepergian lewat hutan. Pingin ku maki-maki rasanya.
Di tengah gempuran berita macam-macam dan seruan untuk segera turun kota, akhirnya aku memutuskan untuk tetap tinggal sampai pekerjaanku selesai. Untunglah aku sempat berpamitan dengan cukup “proper” kepada masyarakat. Hingga pada 8 September 2022 aku memutuskan keluar kampung dengan kondisi pasrah saja kalau tidak ada mobil yang bisa mengantar ke kota.
Rasanya memang hidup ini dirancang dengan berbagai kejutan-kejutan di tengah-tengah perjalanannya. Kalau datar-datar saja mungkin kurang menarik ya (?)