Part 4; Terancamnya Alam dan Ekosistemnya
Kawasan Mamberamo adalah satu dari kawasan hutan tropis yang masih utuh dan memiliki keanekaragaman hayati asli atau endemisitas tinggi. Kawasan ini merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) terbesar di Papua dengan luas hingga 7,8 juta ha atau hampir seluas Pulau Jawa [1]. Sepanjang kawasan DAS ini pula terdapat Suaka Margasatwa Mamberamo – Foja yang merupakan suaka margasatwa terbesar di Indonesia dengan luas hingga 2,02 juta ha [10]. Saking luasnya, Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Mamberamo – Foja ini terbagi pada 10 kabupten dengan lokasi 70% dari total luas berada di Kabupaten Mamberamo Raya. Penetapan kawasan suaka margasatwa ini berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor; 782/Kpts/Um/10/1982 dan 820/Kpts/Um/11/1982. Alasan penetapan kawasan karena didalamnya terdapat 5 ekosistem, 40 tipe vegetasi, dan 785 spesies satwa endemik.
Kekayaan Fauna Suaka Margasatwa Mamberamo - Foja
Statusnya sebagai suaka margasatwa ternyata tidak menjamin kawasan konservasi ini aman dari segala kegiatan yang merusak lingkungan. Kajian yang dilakukan oleh tim Unipa, menyatakan dalam kurun waktu 27 tahun antara 1990 – 2017, SM Mamberamo – Foja mengalami deforestasi seluas 34.382 ha dan degradasi hutan seluas 73.307 ha [11]. Kerusakan hutan ini karena adanya kegiatan penambangan, logging, dan pemekaran wilayah pemukiman penduduk dan pemerintahan. Yang lebih gila lagi pada tahun 2011, PT Rinjani Indonesia mendapatkan IUP (Izin Usaha Pertambangan) melalui keputusan Bupati Mamberamo Raya No. 009 tahun 2011 dengan luas wilayah eksplorasi batubara hingga 45.380 ha [12]. Setidaknya ada 80% dari total luas wilayah ekplorasi batubara yang masuk dalam kawasan suaka margasatwa. Jika rencana pembangunan PLTA dan KEK Mamberamo menjadi kenyataan maka ekosistem yang ada di kawasan suaka margasatwa ini dipastikan semakin terancam.
Peta Geologi Lokasi IUP Batubara
PLTA termasuk sumber energi hijau atau energi baru terbarukan yang dinilai lebih ramah lingkungan dan rendah emisi. Walau begitu tetap saja ada dampak lingkungan yang akan timbul dari pembangunan PLTA dalam skala besar, setidaknya terdapat lima dampak terhadap lingkungan yang tentunya akan berimbas pula kepada manusia lokal yang mendiaminya;
Part 5; Harmonisasi Manusia dan Alam
Penelitian yang dilakukan oleh CI (Conservation International), Cifor (Center for International Forestry Research), dan CIRAD (Centre de coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement) pada tahun 2010 hingga 2012 menunjukan masyarakat lokal memiliki pandangan sendiri akan penggunaan lahan mereka untuk masa kini dan masa depan [13]. Lokasi kegiatan penelitian adalah enam desa di dalam wilayah Kabupaten Mamberamo Raya dengan kondisi ekosistem yang berbeda. Pendekatan tentang Penilaian Lanskap secara Multidisipliner (MLA) yang dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif di enam desa dapat mengakomodir hal apa saja yang menjadi prioritas masyarakat lokal yang tinggal di wilayah tersebut [14]. Masyarakat di keenam desa memiliki pandangan yang cukup beragam mengenai hutan dan sumber daya alam termasuk dinamika hasil hutan yang penting untuk mata pencaharian mereka. Namun, demikian seluruh masyarakat di keenam desa memiliki pandangan yang sama bahwa hutan dan ekosistemnya adalah penting bagi kehidupan mereka.
Ikan di Pasar Kampung Bagusa
Kehidupan masyarakat lokal yang tinggal di Kabupaten Mamberamo Raya masih sangat bergantung pada alam; hutan, sungai, danau, hingga rawa. Ketergantungan ini meliputi kebutuhan akan makanan, obat-obatan, kontruksi rumah, transportasi, tempat berburu, kayu bakar, rekreasi, hingga masa depan yang terbagi pada tipe lahan; hutan, telaga, gunung, sungai, rawa, kebun hingga bekas kampung. Terkait adanya PLTA ini tentu akan menjadi ancaman bagi masyarakat lokal, hal ini ditunjukan bahwa lanskap telaga, sungai, dan sungai kecil memiliki nilai kepentingan tertinggi guna mencukupi sumber makanan. Hasil penilaian masyarakat menyebutkan ketiga lanskap tersebut mempunyai nilai kepentingan hingga 32,3% dari total sebelas lanskap yang dinilai [14].
Harmonisasi antara masyarakat adat lokal dengan alam sudah terjalin dari ratusan hingga ribuan tahun yang lalu bahkan sampai saat ini. Ini terbukti dari cara masyarakat menilai bahwa bencana alam seperti banjir, gempa bumi, dan tanah longsor bukan lah suatu ancaman yang serius bagi mereka. Justru kegiataan semacam pembalakan, penambangan, dan pemburuan satwa secara besar-besaran merupakan ancaman bagi mereka. Kecemasan bahwa suatu saat ada perusahaan datang dan merusak sumber-sumber mineral dan hutan terutama di kawasan mereka sangatlah kuat, ini terjadi setelah beberapa masyarakat melihat secara langsung dampaknya di berbagai tempat lain.