Sagu adalah makanan pokok untuk sebagian besar masyarakat Indonesia Timur yang berasal dari sari pati batang pohon Sagu. Makanan karbohidrat ini mempunyai fungsi yang sama dengan nasi atau gandum yang menjadi makanan pokok Indonesia secara umum. Keberadaan sagu begitu penting bagi masyarakat Papua, termasuk suku Asmat yang mendiami wilayah pesisir selatan Papua. Pohon sagu menjadi sumber kehidupan bagi sebagian besar warga dan sangat dibutuhkan dalam menunjang kehidupan harian mereka. Karena hal inilah, maka masyarakat Asmat pun mempunyai sebuah ritual yang berkaitan dengan keberadaan sagu sebagai makanan pokok mereka.
Pesta ulat sagu diawali dengan keberangkatan sekelompok laki-laki bersama para tetua adat (wair) dari kampung menuju hutan dusun sagu. Iring-iringan ataupun arak-arakan masyarakat yang merias diri dengan berbagai aksesoris gelang, kalung, ikat kepala dan membawa berbagai senjata tradisional menuju hutan dalam memanen ulat sagu di lokasi yang sudah ditentukan sebelumnya. Ulat sagu diambil dari dalam batang pohon sagu yang sudah ditebang 1 bulan sebelumnya sehingga larva kumbang merah kelapa sudah menjadi ulat yang siap dipanen. Ulat sagu yang terdapat dalam batang sagu yang telah membusuk tersebut kemudian dibungkus daun sagu untuk ditempatkan dalam beberapa pelepah sagu sebagai wadah hingga terkumpul dalam jumlah sangat banyak.
Setelah menyelesaiakan panen ulat sagu, rombongan kemudian kembali ke kampung, membentuk parade iring-iringan disepanjang perjalanan. Tua-tua adat yang lain bersama seluruh masyarakat di kampung sejak awal telah menunggu keberhasilan panen ulat sagu tersebut. Sesampainya di kampung, hasil panen ulat sagu dibawa masuk ke dalam jew (rumah bujang), semacam rumah panjang yang dipergunakan untuk berbagai aktivitas bersama warga kampung. Terminologi jew dalam bahasa Asmat berarti roh atau jiwa yang menggerakkan kehidupan bersama. Ungkapan kebersamaan terwujud dalam kerja sama dan saling membantu berbagai perlengkapan hidup antarwarga kampung yang selalu terpusat dan dipusatkan di jew. Isyarat pemukulan tifa oleh tetua adat telah memberikan ruang bagi berlangsungnya pesta ulat sagu.
Para tetua adat, sambil menabuh tifa, melantunkan beberapa nyanyian, seperti ucapan syukur, kisah keterpaduan hidup dengan alam, dan nilai-nilai dalam bersikap dengan sesama, alam, serta Sang Pencipta. Dendang tifa yang terajut bersama nyanyian tersebut berlanjut dengan dendang tifa yang terangkai dalam tarian. Goyang paha untuk laki-laki (simbol keberanian dan kemenangan) serta goyang pinggul untuk perempuan (simbol kesetiaan), masing-masing mempunyai pemaknaan sendiri-sendiri dan berbeda. Namun, itu tetap terajut dalam keterpaduan aktivitas seharihari mereka dalam relasi dengan alam dan dengan sesama. Tiaptiap pemaknaan dan refleksi gerak kehidupan ini akhirnya terangkai kembali dalam makan bersama dengan menyantap hidangan sagu, ulat sagu, dan makanan lain.