Hari sudah sore. Aku sedang membaca Al-Quran ketika lonceng ibadah harian berbunyi. Setiap sore memang selalu berbunyi. Jadi tanda kalau sebentar lagi warga harus berangkat ibadah. Ibadahnya bergiliran di tiap rumah.
Seharian ini aku tidur-tiduran saja. Pusing sekali rasanya. Badan juga lemas. Menyentuh air rasanya seperti melihat sikap Bu Mega terhadap kenaikan harga minyak dan ibu-ibu lain di seluruh Indonesia, dingin sekali.
Lonceng sudah di-toki (dipukul), artinya warga akan meninggalkan rumah masing-masing untuk beribadah. Aku harus bergegas. Kompor ini sudah kosong. Sayangnya, ia harus diisi dengan minyak tanah. Coba saja kalau diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Padahal kan sekarang sedang Ramadan.
Belum genap tiga halaman membaca, Al-Quran sudah aku tutup. Bukan apa-apa. Itu memang karena tiga adalah bilangan ganjil. Jadi, untuk apa digenapkan?
Aku berdiri lalu melipat sarung. Sarungnya kuletakkan di atas roti sisir yang baru kemarin aku beli di kios Bu Sari. Dari sini ke kios Bu Sari membutuhkan satu setengah jam. Melintasi hutan-hutan dan jalanan rusak. Bayangkan, betapa berharganya roti sisir ini untukku. Jangan sampai ketika aku tinggal ke luar rumah, siti — sebutan tikus di sini — dengan wajah tak berdosa akan memakan roti sisir berharga ini.
Blangkon tak lupa aku kenakan. Tak hanya sekadar menjadi hiasan di kepala, blangkon cukup lumayan untuk mengurangi pening saat jalan kaki nanti. Sepertinya ikat kepala ini bisa mengikat pikiran juga. Ia menjaga loncatan impuls-impuls pikiran tak karuan di saraf-saraf otakku. Membuat pening yang dirasa sedikit mereda.
Tak lupa aku mengambil uang dua-puluh-ribuan sejumlah satu lembar, ditemani uang-sepuluh-ribuan sejumlah empat lembar. Total enam puluh ribu. Aku baru ingat ini adalah uang yang kemarin Papen — panggilan untuk Bapak Pendeta — bayarkan untuk titipan ayam lalapan dari Ayamaru. Aku rasa semua sudah siap. Mari jalan.
Di lapangan aku melihat anak-anak sedang bermain bola. Bola yang digunakan adalah bola plastik berwarna kuning yang sudah peot di salah satu sisinya. Ramai dan heboh sekali. Sedangkan di pinggir lapangan ada Juleng sedang menghantamkan parang kepada kelapa. Rupanya, ia sedang membuka kelapa dan ingin memakan dagingnya yang sebenarnya bisa dikatakan sudah tidak muda.
“Tadi siang kita orang bikin kezuqosdadslsk Mas,” Juleng melapor. Kata terakhir yang ia katakan memang sedikit asing.
“Bikin apa?”
“Kezu”
“Oh, keju,”
“Kezu, kesu. Kelapa susu,” ternyata benda yang dimaksud adalah singkatan dari kelapa susu.
“Bah, mantap apa. Baru kelapanya masih kah tidak?” Aku berusaha menelusuri kemungkinan untuk berbuka dengan air kelapa yang segar itu.
“Su habis, Mas. Tadi kita makan ramai-ramai,” aku melihat tidak ada peluang untukku berbuka dengan kelapa.
“Saya mau beli minyak tanah di mana, e?”
“Di situ,” Juleng menjawab sambil menunjuk rumah di seberang dengan menggunakan dagunya. Kelihatannya, tangannya terlalu sibuk untuk sekadar menunjuk rumah itu barang dua detik saja.
“Oke, saya beli minyak tanah dulu,”
Aku menuju rumah yang ditunjuk Juleng. Sebenarnya aku sering melihat Mama di rumah ini menjual minyak tanah. Hanya saja selama ini aku belum pernah mampir.
Aku mengucap salam kepada si empunya rumah. Rumahnya terbuka, botol-botol berisi minyak tanah juga tersedia. Tapi sepertinya rumah sedang kosong ditinggal pemiliknya ke kebun. Sambil menunggu, aku duduk di kursi teras rumah kayu ini. Sambil melihat anak-anak tadi bermain bola juga. Cukup lama sampai akhirnya Susi berjalan kaki dan melewati depan rumah yang berarti lewat depanku juga.
“Sore, Mas,”
“Soreee,” Aku memanjangkan jawabanku.
Sepertinya datangnya Susi sebagai pertanda aku harus pergi dulu dari sini. Entah mencari orang lain yang menjual minyak tanah, atau mengisi waktu sampai Mama pulang dari kebun dan aku bisa membeli minyak tanah miliknya.
Aku menuju rumah Pace Lilienthal. Yang bersangkutan sedang duduk-duduk di depan rumah seperti biasa.
“Sore Bapak!”
“Sore sore.”
“Baru, bagaimana perkembangan?” Aku sengaja melempar pertanyaan yang sebenarnya tak ada konteks apa-apa. Terserah Pace Lilienthal mau menjawab bagaimana.
“Aduh sa pu hape rusak ini. Dia pu layar kemasukan air,” aku melongok sebentar. Memeriksa. Benar, layar hape-nya bertompel hitam cukup besar.
“Ooo, iyo,” aku sedikit bingung akan merespon apa
“Mas, ini kemarin dorang pribumi ada ribut soal pembayaran. Pembayaran hak ulayat ini.”
Inilah dia. Seperti kata peribahasa, sambil membeli minyak tanah sambil minum air. Sambil menunggu Mama pulang dari kebun, sambil memperbaharui info kampung yang kutinggalkan selama akhir pekan kemarin.
Ternyata warga melakukan rapat kampung kemarin. Sebagian pribumi keberatan dengan nominal hak ulayat yang dibayarkan pemda. Mengancam kalau nanti tidak usah dibangun saja. Memang yang kutahu dari Pribumi meminta nominal sebesar tiga kali lipat dari yang telah dibayarkan.
“Tapi su aman. Proyek tetap bisa berjalan,” Pace Lilienthal melengkapi informasinya. Atas rembugan yang prosesnya tak aku tahu dan tak aku ikuti itu, Pace Lilienthal memastikan kalau Proyek tetap berjalan dengan catatan.
“Pengawas lokal ini harusnya dari warga Seni. Dulu yang bikin proposal itu tanda tangan dari Kampung Seni. Bukan yang lain-lain. Kontraktor bisa cek nanti proposal dari mana. Kita yang terima dorang (dinas ESDM Papua Barat dan Kementerian ESDM), kita yang buka kantor kampung untuk rapat, baru, sekarang pace itu (nama disamarkan) datang ikut rapat material, langsung ikut kerja. Sebelumnya tidak pernah ikut rapat.” Protes Pace Lilienthal. Ia dan hampir seluruh warga (katanya) tidak setuju kalau pace itu yang menjadi pengawas lokal. Semakin tidak setuju jika sudah menimbang track record yang bersangkutan.
“Di seluruh Papua ini kita junjung harga diri. Ini kita yang bikin proposal, terima dorang, atas nama kampung sini. Harga diri ini. Kalau nanti dorang tunjuk pace itu jadi pengawas lokal, harus bayar kita pu harga diri ini. Seratus juta.”
Yak.Tak Cuma Pace Lilienthal yang berbicara seperti itu. Di lain kesempatan, di ruang yang berbeda meski tetap di kampung ini, pernyataan tentang harga diri memang sering aku terima. Sejauh ini, harga diri adalah sesuatu yang istimewa di sini. Ia bisa menjadi motivasi penggerak atau malah jadi tembok titan yang tak bisa ditembus. Paradigma inilah yang hingga sekarang masih terus aku coba pahami.
“Oke begitu. Bapak saya mau beli minyak tanah bisa beli di manakah?”
“Mau minyak tanah? Saya jual. Satu botol penuh dua puluh ribu, tapi kalau satu gen lima puluh ribu,”
“Oke bapak saya beli satu gen” Aku kira harga satu botol tiga puluh ribu. Ternyata harga di sini cukup murah, jadi aku beli satu gen saja sekalian.
“Oke, Bapak. Selamat sore!” Sambil berlalu, aku menerima gen berisi minyak tanah ini. Bening sekali. Sempat terlintas untuk nyeletuk ‘Bapak, ini bukan air putih to, bisa saya minum ini!’ Tapi aku urungkan. Uang yang kugenggam sekarang tinggal sepuluh ribu. Rasanya tidak cukup jika nanti aku harus membayar Pace Lilienthal lagi karena ternyata aku menyinggung hatinya.
*nama tokoh disamarkan