Oleh : Muhammad Nasrul
Pegunungan Arfak atau yang biasa disebut Pegaf adalah salah satu kabupaten di Papua Barat yang merupakan hasil pemekaran dari kabupaten Manokwari. Barangkali kabupaten tersebut masih asing bagi orang-orang di luar Papua Barat, namun banyak hal menarik dari Pegaf. Pegaf bisa dikalatakan sebagai “Kabupaten di Atas Awan” karena lokasinya yang berada di pegunungan dengan ketinggian hingga 2.950 mdpl dan lokasi inilah yang menjadi puncak tertinggi di Papua Barat. Jangan bayangkan terdapat kota di puncak pegunungan, lokasi ini lebih seperti kumpulan desa yang berada di lereng-lereng pegununagn yang terjal karena sulit menemukan lokasi datar untuk bermukim.
Akses menuju Pegaf pun sangat menarik, dimana kendaraan umum atau taxi yang dipergunakan untuk menuju ke Pegaf adalah mobil off road double gardan atau mobil 4x4, seperti mobil ranger, hilux, tritor dan sejenisnya. Jalur yang dilalui pun tidak sepenuhnya aspal, aspal hanya terdapat di sekitar Manokwari dan distrik Anggi yang merupakan pusat pemerintahan Pegaf, sisanya merupakan jalanan tanah dengan batuan dan medan yang terjal selayaknya melintasi pegunungan. Untuk mencapai distrik Anggi pun hanya berjarak sekitar 70 km, namun karena factor medan tersebut, perjalanan harus ditempuh sekitar 4 jam perjalanan. Diperjalanan tidak jarang terlihat awan yang berada di lereng pegunungan, oleh sebab itu tidak salah menyebut lokasi ini sebagai “Kabupaten di Atas Awan”. Suhu terendah di lokasi tersebut put dapat mencapai 3 derajat, sehingga memerlukan waktu untuk dapat beradaptasi di lokasi tersebut.
Salah satu lokasi yang kami datangi adalah distrik Anggi yang merupakan pusat pemerintahan dari kabupaten Pegaf, namun bukan berarti lokasi tersebut terdapat keramaian, sebaliknya di sana terasa seperti kota mati karena sepinya penduduk dengan dipenuhi bangunan pemerintahan dan rumah-rumah dinas yang kosong dan tanpa penghuni. Hal ini merupakan sebuah ironi tersendiri dimata kami sebagai pendatang. Hal ini terjadi karena banyak masyarakat khususnya yang berprofesi sebagai pegawai pemerintahan memilih untuk tinggal di Manokwari dibanding distrik Anggi, akibat sulitnya untuk memenuhi “kebutuhan hidup konsumtif”. Menariknya lagi pemerintahan hanya berjalan di hari senin dimana ada kegiatan apel rutin yang setidaknya dimulai pukul 9 pagi, dan seketika distrik Anggi menjadi ramai, namun itu hanya sesaat. Setelah kegiatan apel tersebut selesai, keadaan pun kembali sepi akibat para pegawai yang naik di pagi hari menuju Anggi hanya untuk apel pagi dan setelah itu langsung kembali ke Manokwari. Hal tersebut juga berlaku untuk hari-hari tertentu seperti perayaan 17 Agustus, HUT Pegaf, dan pembagian bantuan sosial.
Hal menarik tersebut tidak dapat dijadikan pandangan utama bahwa itu merupakan masalah, namun bisa jadi hal tersebut diakibatkan oleh kondisi demografi tertentu sehingga kita perlu melihat kondisi tersebut dari berbagai sudut pandang orang. Jangan menjugde suatu kondisi hanya dari sudut pandang anda khusunya sebagai pendatang, tapi dalami suatu kondisi dari sudut pandang berbagai golongan untuk dapat melihat suatu permasalahan secara luas dan holistic.